Fetching data...

Monday, 17 April 2023

MENEGAKKAN HUKUM DENGAN HATI NURANI


Berurusan dengan orang-orang yang tersandung masalah hukum atau butuh pendampingan hukum karena mencari keadilan, selalu memberikan pengalaman batin tersendiri. Kadang-kadang penegak hukum (Advokat/Pengacara) mengambil jalur konfrontasi ketika menangani suatu persoalan hukum yang berat, karena merasa berada pada pihak yang benar. Tapi ada juga saat di mana terpaksa harus membela tersangka/tergugat atau yang bersalah, karena ada hal yang mengetuk hati nurani, sehingga keputusan "membela yang salah" menjadi keharusan yang tidak bisa ditolak.


Yang terakhir ini, misalnya contoh kasus seorang laki-laki yang mencuri HP dan uang, nilainya sampai belasan juta. Kalau hanya melihat kasus ini secara sempit, sebatas hanya pada si pelaku dan perbuatannya,  semua pasti ikut geram dan sepakat untuk orang ini dihukum setimpal (dalam 362 KUHP hukumannya maksimal 5 tahun penjara). Tapi jika kasus ini dilihat lebih luas, bahwa si pelaku adalah seorang perantau miskin yang bekerja serabutan, punya seorang istri dan dua anak kecil, anak keduanya bahkan belum genap 40 hari usianya. Apalagi ternyata aksi nekatnya mencuri HP dan uang adalah untuk membiayai persalinan Istrinya saat melahirkan anak keduanya itu. Maka akan ada dorongan hati nurani untuk menahan diri tidak ikut menghakimi lebih jauh si pelaku.


Benar bahwa si pelaku jelas bersalah karena mengambil harta orang lain tanpa hak. Tapi bayangkan bagaimana jika dia tidak mendapatkan uang untuk biaya persalinan Istrinya?  Bisa dua nyawa melayang hanya karena tidak ada penanganan medis yang tepat. Atau bagaimana jika si pelaku dipenjara karena perbuatannya, siapa yang akan bertanggungjawab jika istri dan kedua anaknya terlantar? Please, jangan jawab "negara yang akan melindungi", karena itu hanya bualan. Hari ini bukan cuma mencari pembuktian janji-janji manis politisi yang sulit, mencari batang hidung negara saat rakyat susah lebih sulit lagi, yang ada justeru dalam kondisi sulit, rakyat tetap "diperas" atas nama pajak (duhh maaf jadi melenceng sedikit 🙏).


Si pelaku memang mencuri, tapi bukankah dalam hukum pidana, suatu perbuatan pidana tidak bisa hanya dilihat actus reus-nya (perbuatan jahatnya)? Melainkan harus pula terpenuhi mens rea-nya (niat jahatnya)? Apalagi jika melihat Asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea, bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah.


Apakah niat membiayai persalinan secara layak agar selamat istri dan anaknya adalah maksud yang jahat? Bukankah hidup dan sehat adalah hak asasi setiap anak manusia bahkan saat masih menjadi janin dalam kandungan ibunya? Bukankah hak hidup dan hak sehat adalah hak asasi yang non derogable right (tidak dapat diganggu gugat)? Ketentuan ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang telah diratifikasi menjadi menjadi UU no. 36 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM). Hak hidup dan mempertahankan kehidupannya serta hak mendapatkan kesehatan bahkan dijamin di dalam UUD 1945, masing-masing tertuang dalam Pasal 28A dan Pasal 28H.


Ini tidak berarti membenarkan perbuatan mencuri, melainkan untuk menegaskan, bahwa penegakan hukum harus pula menggunakan pertimbangan hati nurani. Itulah mengapa motivasi penegakan hukum harusnya bukan mencari kebenaran, melainkan menegakkan keadilan. Di dalam bahasa hukum dikenal istilah restoratif justice. Ini adalah alternatif penegakan hukum untuk memberikan rasa keadilan. Memang harusnya -sebagaimana dijelaskan sebelumnya- penegakan hukum itu bukan mencari mana yang baik dan mana yang benar, melainkan mana yang adil. Yang baik belum tentu benar, yang benar belum tentu adil, tapi yang adil sudah pasti benar dan sudah pasti pula baik.


Restoratif justice menjadi challenge bagi penegak hukum, yakni Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat. Bagi Polisi, telah ada Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 tahun 2021 yang dapat menjadi dasar hukum dan acuan melakukan restoratif justice. Sementara bagi Jaksa telah ada Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 Tahun 2020 yang bisa menjadi dasar hukum melakukan restoratif justice, apalagi jaksa memiliki asas oportunitas dalam melaksanakan tugasnya, yang memungkinkannya untuk menuntut atau tidak menuntut suatu delik. Sudah banyak juga Yurisprudensi yang dapat menjadi contoh bagaimana hukum semestinya ditegakkan tanpa mengesampingkan pertimbangan hati nurani. 


Pada kasus pencurian ini, restoratif justice adalah sebaik-baik langkah hukum yang harusnya diambil oleh pihak terkait yang punya wewenang. Itulah yang diperjuangkan advokat meski harus disebut "membela yang salah". Perbuatan mencuri memang salah, tapi apakah pelaku harus dikurung bertahun-tahun yang berpotensi membuat anak istrinya terlantar? Apakah negara dapat menjamin kehidupan anak istrinya saat si pelaku dipenjara bertahun-tahun itu? Atau dipaksa membayar denda yang sudah pasti tidak akan sanggup dilaksanakannya. Sekali lagi, si pelaku memang bersalah, aturan hukum sudah pakem soal itu. Tapi hati nurani mengatakan, si pelaku harus dibela dan dibantu. Negara harus bertanggungjawab dan hadir memberikan rasa adil. Bahkan harusnya negara malu, jika ada seorang fakir miskin terpaksa mencuri untuk membiayai persalinan yang layak agar Istri dan anaknya selamat dan sehat. Ingat, UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) mengamanatkan agar negara wajib memelihara fakir miskin. Hak hidup dan hak sehat sebagai Hak Asasi Manusia bukankah wajib dijamin dan dilindungi negara? Ketentuan ini adalah amanat yang tertulis terang benderang dalam UU No. 36 tahun 1999 tentang HAM.


Bahkan, bukan cuma negara (dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksana UU dan pembuat kebijakan publik) yang bersalah, melainkan semua orang yang membiarkan seorang bapak fakir miskin yang tidak tahu lagi jalan apa yang bisa ditempuhnya selain mencuri untuk membiayai persalinan Istrinya. Dalam agama diajarkan, membiarkan tetangga kelaparan sementara dirinya kenyang semalaman, padahal dia tahu tetangganya kelaparan, maka dia tidak dianggap beriman kepada Allah (HR. At-Tabrani). Apalagi membiarkan seorang perempuan berjuang hidup dan mati untuk mempertahankan sendiri hidup bayinya dan dirinya. Ditambah lagi dengan menghukum seorang bapak fakir miskin yang atas kesalahannya telah menyelamatkan nyawa istri dan anaknya.


Yogyakarta, 2023

Friday, 7 April 2023

TIDAK BAYAR UTANG BISAKAH DIPIDANA PENJARA?

Sejatinya persoalan utang-piutang masuk ke dalam ranah hukum perdata bukan pidana. Utang-piutang merupakan salah satu jenis perjanjian. Perjanjian itu sendiri adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau mereka saling berjanji melakukan suatu hal, memberikan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal. Perjanjian menyebabkan adanya perikatan, yaitu hubungan hukum antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Secara khusus perjanjian utang-piutang sebagai suatu perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.


Terkait pelunasan utang-piutang, secara umum dilakukan dengan pembayaran utang. Hal ini sebagaimana ketentuan tentang hapusnya perikatan yang diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Selain itu, pembayaran utang dapat juga dilakukan dengan kompensasi atau perjumpaan utang-piutang (untuk hal ini dibahas di dalam Pasal 1425 - 1435 KUH Perdata). Ketidaksanggupan/kelalaian dalam membayar/melunasi utang, dapat digugat secara perdata ke pengadilan. Namun pertanyaannya, bisakah persoalan utang-piutang diseret ke dalam perkara Pidana, sehingga pihak yang melalaikan kewajibannya membayar utang dapat dihukum penjara?


Merujuk pada Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, orang yang tidak sanggup melunasi utang, tidak bisa dituntut pidana penjara.


Namun bukan berarti tidak ada celah sama sekali bagi orang yang tidak membayarkan/melalaikan utangnya itu untuk dituntut secara pidana. Setidaknya untuk perkara utang-piutang, dapat dijerat dengan pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) dan atau pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP). Asalkan dapat dibuktikan bahwa si peminjam atau orang yang berhutang itu benar-benar memenuhi unsur penipuan dan atau penggelapan.


Suatu perbuatan hukum dapat dikatakan penggelapan jika memenuhi unsur: kesengajaan, melawan hukum, memiliki barang orang lain, barang itu dikuasai bukan karena kejahatan. Sementara suatu perbuatan dikatakan penipuan jika memenuhi unsur-unsur: Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, menggerakkan orang untuk menyerahkan suatu barang (bujuk rayu, iming-iming, dll), menggunakan salah satu upaya penipuan (dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan).


Kalau dapat dibuktikan bahwa suatu perkara pinjam-meminjam barang/uang atau utang-piutang itu memenuhi unsur-unsur penggelapan dan atau penipuan, maka bisa saja orang yang tidak membayar utang itu dituntut secara pidana dan diancam pidana penjara sesuai ketentuan dalam Pidana Penggelapan atau Pidana Penipuan, yaitu 4 tahun penjara.

Sunday, 21 November 2021

PEMBANGUNAN (?)

Pembangunan masyarakat tentu meniscayakan pemberdayaan, tanpa pemberdayaan, pembangunan ibarat mendirikan gedung tinggi dan megah tanpa memedulikan kekuatan pasaknya. Pemberdayaan itu sendiri setidaknya dengan berpegang pada empat hal: akses, kesejahteraan, partisipatif dan swadaya. 


Itu artinya, jika pembangunan dilakukan namun malah membuat masyarakat sulit atau tdk memiliki akses dlm segala hal terkait proses pembangunan atau mjd tdk leluasa mengakses hasil pembangunan. Maka itu bukan lah pembangunan. Sebab objek pembangunan adl masyarakat, bukan yg lain. Maka masyarakat lah yg paling berhak atas akses terhadap proses dan hasil pembangunan itu.


Selain itu, jika pembangunan tdk berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat (kesejahteraan), atau alih-alih menciptakan keadilan sosial tetapi malah menyulitkan hidup masyarakat. Itu pasti bukan pembangunan.


Demikian pula, jika pembangunan dilakukan namun tdk melibatkan masyarakat sbg subjek sekaligus objeknya, partisipasi masyarakat kecil bahkan tdk ada sama sekali, yang pada akhirnya tidak ada swadaya dari masyarakat. Atau masyarakat dituntut berswadaya namun pintu partisipasi ditutup, maka tidak dapat dikatakan itu adalah pembangunan.


Singkatnya, pembangunan tidak boleh bersifat elitis, esklusif, tertutup, tertentu... Harusnya terbuka, ada keterlibatan aktif  masyarakat, transparan, akuntabel. Khususnya untuk BUMDES, jangan dikelola layaknya perusahaan pribadi, dikuasai dan diurusi segelintir pihak.


Misalnya begini, jika salah satu usaha BUMDES adl produk makanan olahan lokal, maka jangan menempatkan masyarakat sbg penyedia bahan baku semata. Semestinya segala proses dari hulu hingga ke hilir terkait produk tersebut, dilakukan dgn melibatkan masyarakat, seperti penentuan harga, standar kualitas produk, timeline, kemasan, dll. Itu baru namanya pembangunan dengan tidak mengabaikan pasak alias pemberdayaan.

Saturday, 19 June 2021

Kedok "Demi Kepentingan Umum"


Pemerintah setidaknya punya dua fungsi, yakni fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Masing2 fungsi ini erat kaitannya dengan hakikat negara hukum dan negara kesejahteraan. 


Negara dibentuk untuk menjamin adanya pelayanan kepada masyarakat, agar kepentingan masyarakat berupa peningkatan kualitas hidup dapat tercapai, dengan terwujudnya sumber daya manusia yang unggul, adanya kepastian dan jaminan hukum kepada masyarakat, serta terwujudnya kesejahteraan untuk semua.


Pemerintah dibentuk untuk mewujudkan pelayanan masyarakat tersebut dlm fungsinya sebagai pengatur dan pelayan. Apa wujud pelayanan masyarakat/publik itu? Wujudnya adl melalui kebijakan publik, kebijakan hukum dan kebijakan sosial yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan mencapai kemaslahatan yang besar demi kepentingan umum/masyarakat.


Singkatnya, pelayanan masyarakat/publik yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan2nya, bertujuan demi kepentingan umum atau masyarakat luas, bukan kepentingan pribadi, kelompok atau kroni2 para elit dlm lingkaran kekuasaan.


Sehingga jika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan dalil dan dalih "untuk kepentingan umum/masyarakat", padahal dengan mata telanjang dan akal yang sehat terlihat jelas serta dengan mudah dimengerti, bahwa kebijakan itu justeru memanjakan dirinya dan  kelompok tertentu (misalnya elit politik atau pemilik modal/perusahaan besar) dan malah semakin menyengsarakan rakyat. Maka dengan mudah dapat dipahami, bahwa dalil dan dalih "demi kepentingan umum" tidak lebih sekedar kedok untuk mengelabui masyarakat atas ketamakan, keculasan dan kezaliman para pembuat kebijakan.

Tuesday, 12 January 2021

Cara Bernegara Kita


Belakangan muncul komentar-komentar perihal cara kita bernegara yang saya kira kurang tepat atau seenaknya. Misalnya, menyuruh organisasi sipil yang mengkritik pemerintah untuk jadi partai politik saja, atau menyarankan mereka yang beroposisi dengan pemerintah untuk lebih baik berkolaborasi saja, dalam pengertian ikut dalam "koalisi" penguasa. Ini aneh, mereka pikir berdemokrasi itu cuma sesempit pemerintah dan partai politik, atau bernegara hanya ada penguasa dan para pendukungnya saja. Naif sekali!

Padahal demokrasi itu menghendaki adanya penyeimbang kekuasaan. Makanya dalam demokrasi -salah satunya- ada HAM, yang di antara tujuannya adalah membatasi kekuasaan. Kekuasaan dalam demokrasi juga bukan cuma untuk dilegitimasi, tetapi harus dipertanggung jawabkan secara publik. Ini dasar dan prinsipil.

Civil Society Organization juga niscaya dalam sebuah negara demokratis, yang fungsinya setidaknya adalah menekan, mengawasi dan mengadvokasi kebijakan publik. Harus ada kekuatan oposisi di luar kekuasaan, baik bentuknya adalah partai politik atau pun ekstra parlementer yang tidak terikat dengan parlemen maupun pembentuk parlemen (parpol). Kesemua itu ada untuk mengimbangi kekuasaan, supaya kekuasaan tidak semau-maunya. Ini normal dalam alam demokrasi.

Maka tidak boleh ada yang melarang orang menyanksikan sepak terjang penguasa, sehingga seolah apapun kebijakannya harus ditaati dan tidak boleh protes. Bahkan bahaya sekali kalau akhirnya  yang protes pada kebijakan penguasa diancam dengan pidana, atau minimal disematkan label-label berkonotasi negatif, misalnya makar, ekstrimis, radikal, kadrun, dll. Ini cara bernegara macam apa? Rimba sekali.

Ingat, kebijakan publik itu berdampak secara publik, maka publik (masyarakat) berhak untuk bertanya, menyanggah, bahkan menolak kebijakan itu jika dirasa dapat berdampak buruk. Atau menyoal mengapa kebijakan publik dibuat dengan tidak terbuka dan tidak transparan? Mengapa harus memilih kebijakan itu padahal ada alternatif kebijakan yang lebih adil? Pertanyaan-pertanyaan, spekulasi-spekulasi dan keragu-raguan publik harus dijawab oleh pembuat kebijakan secara terang dan jelas, jika perlu didiskusikan secara terbuka. Bukan malah mengancam dan menekan. Itu cara bernegara macam apa? Purba sekali.

Jadi menyuruh organisasi sipil yang beroposisi ke penguasa untuk menjadi parpol saja atau menggunakan dalih kolaborasi untuk menutup keran oposisi, adalah lelucon yang tidak lucu sama sekali.

Wallahu'alam

Monday, 4 January 2021

TNI-POLRI Bukan Alat Penguasa!




ORDE BARU memberikan pelajaran penting untuk kita, bahwa dwi fungsi yang menjadi dasar pembenar bagi ABRI untuk terjun dalam aktivitas politik praktis -yang lekat dengan perebutan peluang, kesempatan dan kekuasaan-  dan praktek kehidupan sipil, menjadikan supremasi sipil sebagai tumbal dan keset.

Pasca orde baru ada reformasi pada tubuh ABRI yg mengembalikan TNI pada fitrahnya dengan menjalankan fungsinya sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, serta polisi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus sebagai penegak hukum -yang dalam konstitusi Indonesia kedua institusi tersebut disebut sebagai ALAT NEGARA. Lihat UUD 1945 pasal 30 ayat (3) dan (4), lihat juga UU 34/2004 tentang TNI dan UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Sebagai alat negara, TNI tidak boleh bicara apalagi bekerja pada hal remeh temeh di luar fungsinya sebagai angkatan perang dan fungsi di luar perang yang sudah secara khusus dan tertentu diatur dalam UU. TNI juga tidak boleh memasang badan demi penguasa, meski prisiden adalaj panglima tertinggi, tapi kesetiaan paling tinggi TNI adalah kepada rakyat, bangsa dan negara, bukan pada penguasa, bukan kepada pemerintah.

Demikian halnya dengan POLRI. Institusi ini mestinya ada di garda terdepan untuk memastikan rakyat dalam keadaan aman dan tertib , bukan malah menakut-nakuti rakyat atau turut menyulut perselisihan dan konflik. POLRI tidak boleh berdiri berhadap-hadapan dengan rakyat, sebab fungsinya adalah melayani dan mengayomi. Termasuk tidak boleh menjadi juru bicara atau alat gebuk penguasa, meski memang POLRI di bawah presiden, tapi fitrahnya adalah alat negara, bukan alat kekuasaan!

Namun hari-hari ini, ada nuansa yang asing dari sepak terjang dua institusi tadi, atau jika boleh mengatakan bahwa keduanya melakukan kerja melampaui fungsinya. Hal ini tentu sangat disayangan, yang pada gilirannya muncul pertanyaan: apakah TNI - POLRI benar adalah alat negara atau alat yang lain? Alat penguasa misalnya. Jika sebagai alat negara, tentu keduanya bekerja untuk dan atas nama negara.tetapi jika terasa seperti alat penguasa, berarti keduanya memosisikan diri untuk dan demi kepentingan kekuasaan.

Kaitannya dengan ALAT NEGARA. BIN juga termasuk institusi yang disebutkan dalam konstitusi sebagai alat negara. Hal ini ditegaskan dlm Pasal 10 UU No 17 thn 2011. Maka, BIN juga harusnya bekerja untuk dan atas nama negara, bukan untuk dan demi penguasa.

Bayangkan bagaimana jadinya jika 3 institusi yang diberikan wewenang luar biasa dengan fasilitas luar biasa itu bekerja tidak sebagai alat negara tetapi sebagai alat penguasa? Tentu hal itu akan sangat berdampak buruk bagi kesehatan demokrasi dan mengebiri kebebasan rakyat yang tidak lain adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi.

"Berkah" dari alat negara berubah menjadi atau merangkap alat penguasa, menjadikan penguasa akan sedemikian kuat dan berkuasa, sebab semua alat negara dikendalikan untuk tujuan kekuasaan. Dalam keadaan sedemikian itu, pastilah kekuasaan menjadi sangat korup dan berbahaya, yang di antara tanda-tandanya adalah menjadi sangat represif, melakukan pemaknaan tunggal atas segala sesuatu, mendaku diri sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang berarti selain darinya adalah hoax, merespon kritikan dengan membungkam, dan seterusnya.

Wallahu'alam

Ads 970x90