Pasca orde baru ada reformasi pada tubuh ABRI yg mengembalikan TNI pada fitrahnya dengan menjalankan fungsinya sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, serta polisi sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus sebagai penegak hukum -yang dalam konstitusi Indonesia kedua institusi tersebut disebut sebagai ALAT NEGARA. Lihat UUD 1945 pasal 30 ayat (3) dan (4), lihat juga UU 34/2004 tentang TNI dan UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Sebagai alat negara, TNI tidak boleh bicara apalagi bekerja pada hal remeh temeh di luar fungsinya sebagai angkatan perang dan fungsi di luar perang yang sudah secara khusus dan tertentu diatur dalam UU. TNI juga tidak boleh memasang badan demi penguasa, meski prisiden adalaj panglima tertinggi, tapi kesetiaan paling tinggi TNI adalah kepada rakyat, bangsa dan negara, bukan pada penguasa, bukan kepada pemerintah.
Demikian halnya dengan POLRI. Institusi ini mestinya ada di garda terdepan untuk memastikan rakyat dalam keadaan aman dan tertib , bukan malah menakut-nakuti rakyat atau turut menyulut perselisihan dan konflik. POLRI tidak boleh berdiri berhadap-hadapan dengan rakyat, sebab fungsinya adalah melayani dan mengayomi. Termasuk tidak boleh menjadi juru bicara atau alat gebuk penguasa, meski memang POLRI di bawah presiden, tapi fitrahnya adalah alat negara, bukan alat kekuasaan!
Namun hari-hari ini, ada nuansa yang asing dari sepak terjang dua institusi tadi, atau jika boleh mengatakan bahwa keduanya melakukan kerja melampaui fungsinya. Hal ini tentu sangat disayangan, yang pada gilirannya muncul pertanyaan: apakah TNI - POLRI benar adalah alat negara atau alat yang lain? Alat penguasa misalnya. Jika sebagai alat negara, tentu keduanya bekerja untuk dan atas nama negara.tetapi jika terasa seperti alat penguasa, berarti keduanya memosisikan diri untuk dan demi kepentingan kekuasaan.
Kaitannya dengan ALAT NEGARA. BIN juga termasuk institusi yang disebutkan dalam konstitusi sebagai alat negara. Hal ini ditegaskan dlm Pasal 10 UU No 17 thn 2011. Maka, BIN juga harusnya bekerja untuk dan atas nama negara, bukan untuk dan demi penguasa.
Bayangkan bagaimana jadinya jika 3 institusi yang diberikan wewenang luar biasa dengan fasilitas luar biasa itu bekerja tidak sebagai alat negara tetapi sebagai alat penguasa? Tentu hal itu akan sangat berdampak buruk bagi kesehatan demokrasi dan mengebiri kebebasan rakyat yang tidak lain adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi.
"Berkah" dari alat negara berubah menjadi atau merangkap alat penguasa, menjadikan penguasa akan sedemikian kuat dan berkuasa, sebab semua alat negara dikendalikan untuk tujuan kekuasaan. Dalam keadaan sedemikian itu, pastilah kekuasaan menjadi sangat korup dan berbahaya, yang di antara tanda-tandanya adalah menjadi sangat represif, melakukan pemaknaan tunggal atas segala sesuatu, mendaku diri sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang berarti selain darinya adalah hoax, merespon kritikan dengan membungkam, dan seterusnya.
Wallahu'alam