25 April 2016 silam, pangeran Muhammad bin Salman (MBS) mengumumkan detail awal wajah baru Arab Saudi lewat Visi 2030nya. Ini menjadi lonceng perubahan radikal Arab Saudi di berbagai sektor.
Proyek ambisius MBS ini adalah untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi terhadap minyak. Memang rencana untuk mengurangi ketergantungan pada minyak telah ada sejak tahun 1970an, namun nampaknya rencana tersebut baru menemukan momentumnya sehingga muncullah visi 2030 ini. Arab Saudi juga akan mendiversifikasi ekonomi dan mengembangkan berbagai sektor non migas.
Kita tahu, 87% pendapatan Arab Saudi disumbangkan dari sektor minyak, 42% PDB juga disumbangkan oleh minyak, serta terhadap pendapatan ekspor yang mencapai angka 90%. Arab Saudi memang rajanya minyak, cadangan minyaknya mencapai 268 miliyar barel, 1/5 atau 20% cadangan minyak dunia berasal dari Arab Saudi. Tapi bergantung pada minyak bukan tidak menimbulkan masalah, harga minyak yang fluktuatif sangat mungkin membuat ekonomi negara jadi rapuh, apalagi penopang utama ekonomi Arab Saudi adalah minyak.
Persaingan ketat pada industri minyak yang mempengaruhi konstelasi politik dan pasang surut ekonomi, serta meletusnya Arab Spring, ditambah jatuhnya harga minyak pada 2015 hingga 50 dolar Amerika per barel, memberikan pukulan telak bagi Arab Saudi, sehingga Saudi terpaksa harus mengambil langkah besar.
Baru-baru ini meletus perang harga minyak antara Saudi dan sekutunya Rusia, akibat dari ditolaknya usulan Saudi oleh Rusia pada pertemuan anggota OPEC plus (6/3) terkait pengurangan produksi minyak hingga 1,5 juta barel per hari sebagai langkah antisipasi atas menurunnya permintaan minyak dunia selama pandemi covid 19. Keputusan MBS untuk menambah produksi minyaknya hingga 12,3 juta barel per hari dan mendiskon harga minyak mentah mereka ke pasar sebagai deklarasi perang harga minyak, menunjukkan Arab Saudi sangat mengalami dampak dari permintaan minyak di pasar dunia yang merosot akibat pandemi covid 19, sehingga mau tidak mau produksi minyak harus dipangkas dan Saudi harus memaksa negara-negara produsen untuk mengikuti keinginannya.
Namun sayang, deklarasi perang harga minyak yang dilakukan Saudi justeru dapat berdampak buruk bagi kerajaan sendiri. Sebab dengan membanjirnya minyak Saudi di pasar, tidak hanya merusak pasaran minyak dunia, tetapi juga mengancam hubungan dengan sekutunya AS, sebab produksi minyak serpih AS mengalami dampak yang serius akibat perang harga minyak Saudi dan Rusia. Belum lagi soal kemungkinan suramnya rencana diversivikasi ekonomi Saudi yang membutuhkan investor lebih besar, sebab bisa saja investor enggan menanamkan modal di Saudi akibat kenekatan MBS mendiskon harga minyak mentah dan meningkatkan produksi minyaknya.
Walau akhirnya setelah negosiasi pasca deklarasi perang harga minyak yang dimotori AS dan lewat pertemuan OPEC plus selanjutnya (12/4), Rusia akhirnya sepakat untuk menurunkan produksi minyaknya hingga 100.000 juta barel per hari, sebagai persetujuannya atas kesepakatan OPEC plus untuk memangkas produksi minyak hingga 9,7 juta barel per hari.
Kita tahu bahwa, tahun 2020 Saudi menargetkan penjualan minyaknya dapat mencapai 136,47 miliar dollar AS, dengan asumsi penjualan minyak kira-kira 50an dolar AS per barel. Dengan adanya kesepakatan pemangkasan produksi minyak dan harga minyak yang jatuh akibat menurunnya permintaan minyak dunia di tengah pandemi covid 19, harga minyak dunia dapat menyentuh 40 dolar AS per barel. Maka sudah pasti ini akan menggoyang ekonomi Arab Saudi.
Terlepas dari terpukulnya Saudi atas menurunnya permintaan dan harga minyak di pasar dunia belakangan ini -sebagaimana yang juga pernah terjadi beberapa tahun lalu- menjadi fakta yang memang logis, bahwa ketergantungan Saudi pada minyak sebagai penopang ekonomi, akan sangat rentan menggoyang kerajaan Arab Saudi. Maka Visi 2030 semakin mendapatkan legitimasi menjadi sebuah terobosan besar Saudi untuk menciptakan alternatif industri dan investasi baru, demi mengurangi ketergantungan pada minyak.
Hal yang cukup menarik adalah tentang bagaimana peran Wahabi dalam proyek ambisius MBS? Apa argumentasi Wahabi untuk melegitimasi visi 2030? bagaimana nasib Wahabi selanjutnya? Bagaimana menengahi kepentingan ulama dan kerajaan? Bukankah proyek ambisius ini akan mendobrak banyak hal yang telah mapan di Saudi, bukan hanya pada sikap politik dan strategi ekonomi kerajaan, tetapi juga berbagai peraturan negara dan kehidupan sosial budaya masyarakat Arab Saudi yang selama ini dijalani dan dipegang erat sebagai sebuah identitas?
Baru-baru ini misalnya, Saudi selain meniadakan hukuman mati bagi terpidana 18 tahun ke bawah, juga menghilangkan hukuman cambuk bagi pelaku kejahatan dan diganti dengan hukuman denda serta hukuman penjara. Ini menambah deretan perubahan atas peraturan-peraturan yang cukup mendasar di Arab Saudi. Kehidupan sosial budaya Saudi hari-hari ini pun diberitakan oleh berbagai media sebagai sebuah wajah baru yang lebih "longgar" dari sebelumnya. Tentu ini menjadi menarik mengingat selama ini model keislaman di Saudi yang dipengaruhi kuat oleh wahabisme, cukup ketat dalam mengatur kehidupan sosial budaya, termasuk juga produk hukum yang dihasilkan sebagai peraturan yang berlaku di kerajaan.
Jika benar bahwa, Arab Saudi harus merubah banyak hal mendasar yang telah pakem dalam pemahaman keagamaan yang dianut selama ini pada kehidupan sosial budaya, maka ini akan menjadi pertarungan antara kepentingan ulama' dan umaro', namun nampaknya ulama' tidak mungkin cukup kuat berhadapan dengan umaro', mengingat model kepemimpinan di Saudi terutama di masa Raja Salman dengan MBS sebagai putra mahkota sekaligus pemegang kekuasaan de facto yang cukup keras, sehingga suka tidak suka ulama' mesti mencari jalan tengah atau langkah aman untuk melegitimasi keinginan atau tepatnya ambisi dari umaro/kerajaan.
Boleh jadi, kedepan Wahabi akan tampil dengan wajah yang berbeda dengan menunjukkan pemahamaan keagamaan yang lebih "longgar", dan mungkin saja ini akan berefek juga kepada aliran-aliran keagamaan di dunia Islam yang berkiblat kepada ulama-ulama Saudi yang mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahab.
(Ohya, Isu menarik tentang "nasib wahabi dalam visi 2030" di Saudi pernah juga dibahas dengan cukup baik oleh kawan saya (di samping saya di foto) dalam Thesis nya yang telah disidangkan pada Program Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Kajian Timur Tengah, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Anda bisa mengaksesnya untuk bahan diskusi di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga)
Wallahu'alam.
Proyek ambisius MBS ini adalah untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi terhadap minyak. Memang rencana untuk mengurangi ketergantungan pada minyak telah ada sejak tahun 1970an, namun nampaknya rencana tersebut baru menemukan momentumnya sehingga muncullah visi 2030 ini. Arab Saudi juga akan mendiversifikasi ekonomi dan mengembangkan berbagai sektor non migas.
Kita tahu, 87% pendapatan Arab Saudi disumbangkan dari sektor minyak, 42% PDB juga disumbangkan oleh minyak, serta terhadap pendapatan ekspor yang mencapai angka 90%. Arab Saudi memang rajanya minyak, cadangan minyaknya mencapai 268 miliyar barel, 1/5 atau 20% cadangan minyak dunia berasal dari Arab Saudi. Tapi bergantung pada minyak bukan tidak menimbulkan masalah, harga minyak yang fluktuatif sangat mungkin membuat ekonomi negara jadi rapuh, apalagi penopang utama ekonomi Arab Saudi adalah minyak.
Persaingan ketat pada industri minyak yang mempengaruhi konstelasi politik dan pasang surut ekonomi, serta meletusnya Arab Spring, ditambah jatuhnya harga minyak pada 2015 hingga 50 dolar Amerika per barel, memberikan pukulan telak bagi Arab Saudi, sehingga Saudi terpaksa harus mengambil langkah besar.
Baru-baru ini meletus perang harga minyak antara Saudi dan sekutunya Rusia, akibat dari ditolaknya usulan Saudi oleh Rusia pada pertemuan anggota OPEC plus (6/3) terkait pengurangan produksi minyak hingga 1,5 juta barel per hari sebagai langkah antisipasi atas menurunnya permintaan minyak dunia selama pandemi covid 19. Keputusan MBS untuk menambah produksi minyaknya hingga 12,3 juta barel per hari dan mendiskon harga minyak mentah mereka ke pasar sebagai deklarasi perang harga minyak, menunjukkan Arab Saudi sangat mengalami dampak dari permintaan minyak di pasar dunia yang merosot akibat pandemi covid 19, sehingga mau tidak mau produksi minyak harus dipangkas dan Saudi harus memaksa negara-negara produsen untuk mengikuti keinginannya.
Namun sayang, deklarasi perang harga minyak yang dilakukan Saudi justeru dapat berdampak buruk bagi kerajaan sendiri. Sebab dengan membanjirnya minyak Saudi di pasar, tidak hanya merusak pasaran minyak dunia, tetapi juga mengancam hubungan dengan sekutunya AS, sebab produksi minyak serpih AS mengalami dampak yang serius akibat perang harga minyak Saudi dan Rusia. Belum lagi soal kemungkinan suramnya rencana diversivikasi ekonomi Saudi yang membutuhkan investor lebih besar, sebab bisa saja investor enggan menanamkan modal di Saudi akibat kenekatan MBS mendiskon harga minyak mentah dan meningkatkan produksi minyaknya.
Walau akhirnya setelah negosiasi pasca deklarasi perang harga minyak yang dimotori AS dan lewat pertemuan OPEC plus selanjutnya (12/4), Rusia akhirnya sepakat untuk menurunkan produksi minyaknya hingga 100.000 juta barel per hari, sebagai persetujuannya atas kesepakatan OPEC plus untuk memangkas produksi minyak hingga 9,7 juta barel per hari.
Kita tahu bahwa, tahun 2020 Saudi menargetkan penjualan minyaknya dapat mencapai 136,47 miliar dollar AS, dengan asumsi penjualan minyak kira-kira 50an dolar AS per barel. Dengan adanya kesepakatan pemangkasan produksi minyak dan harga minyak yang jatuh akibat menurunnya permintaan minyak dunia di tengah pandemi covid 19, harga minyak dunia dapat menyentuh 40 dolar AS per barel. Maka sudah pasti ini akan menggoyang ekonomi Arab Saudi.
Terlepas dari terpukulnya Saudi atas menurunnya permintaan dan harga minyak di pasar dunia belakangan ini -sebagaimana yang juga pernah terjadi beberapa tahun lalu- menjadi fakta yang memang logis, bahwa ketergantungan Saudi pada minyak sebagai penopang ekonomi, akan sangat rentan menggoyang kerajaan Arab Saudi. Maka Visi 2030 semakin mendapatkan legitimasi menjadi sebuah terobosan besar Saudi untuk menciptakan alternatif industri dan investasi baru, demi mengurangi ketergantungan pada minyak.
Hal yang cukup menarik adalah tentang bagaimana peran Wahabi dalam proyek ambisius MBS? Apa argumentasi Wahabi untuk melegitimasi visi 2030? bagaimana nasib Wahabi selanjutnya? Bagaimana menengahi kepentingan ulama dan kerajaan? Bukankah proyek ambisius ini akan mendobrak banyak hal yang telah mapan di Saudi, bukan hanya pada sikap politik dan strategi ekonomi kerajaan, tetapi juga berbagai peraturan negara dan kehidupan sosial budaya masyarakat Arab Saudi yang selama ini dijalani dan dipegang erat sebagai sebuah identitas?
Baru-baru ini misalnya, Saudi selain meniadakan hukuman mati bagi terpidana 18 tahun ke bawah, juga menghilangkan hukuman cambuk bagi pelaku kejahatan dan diganti dengan hukuman denda serta hukuman penjara. Ini menambah deretan perubahan atas peraturan-peraturan yang cukup mendasar di Arab Saudi. Kehidupan sosial budaya Saudi hari-hari ini pun diberitakan oleh berbagai media sebagai sebuah wajah baru yang lebih "longgar" dari sebelumnya. Tentu ini menjadi menarik mengingat selama ini model keislaman di Saudi yang dipengaruhi kuat oleh wahabisme, cukup ketat dalam mengatur kehidupan sosial budaya, termasuk juga produk hukum yang dihasilkan sebagai peraturan yang berlaku di kerajaan.
Jika benar bahwa, Arab Saudi harus merubah banyak hal mendasar yang telah pakem dalam pemahaman keagamaan yang dianut selama ini pada kehidupan sosial budaya, maka ini akan menjadi pertarungan antara kepentingan ulama' dan umaro', namun nampaknya ulama' tidak mungkin cukup kuat berhadapan dengan umaro', mengingat model kepemimpinan di Saudi terutama di masa Raja Salman dengan MBS sebagai putra mahkota sekaligus pemegang kekuasaan de facto yang cukup keras, sehingga suka tidak suka ulama' mesti mencari jalan tengah atau langkah aman untuk melegitimasi keinginan atau tepatnya ambisi dari umaro/kerajaan.
Boleh jadi, kedepan Wahabi akan tampil dengan wajah yang berbeda dengan menunjukkan pemahamaan keagamaan yang lebih "longgar", dan mungkin saja ini akan berefek juga kepada aliran-aliran keagamaan di dunia Islam yang berkiblat kepada ulama-ulama Saudi yang mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahab.
(Ohya, Isu menarik tentang "nasib wahabi dalam visi 2030" di Saudi pernah juga dibahas dengan cukup baik oleh kawan saya (di samping saya di foto) dalam Thesis nya yang telah disidangkan pada Program Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Kajian Timur Tengah, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Anda bisa mengaksesnya untuk bahan diskusi di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga)
Wallahu'alam.