Mengapa harus rapuh karena perpisahan? bukan kah perjumpaan tak pernah menjanjikan kekekalan? Ketika kita siap atas perjumpaan (walau sebenarnya perjumpaan tidak pernah mau tahu kesiapan kita), kita pun harus rela atas perpisahan. Maka bersyukurlah dengan sepenuh hati, karena pernah mendapat kesempatan atas suatu perjumpaan. Sehingga ketika tiba perpisahan, rasa syukur atas perjumpaan di masa lalu adalah bentuk keikhlasan terhadap perpisahan yang terjadi.
Ini
seperti orang yang merasa kehilangan atas sesuatu, karena dia pernah merasa
memiliki atas sesuatu itu. Maka baiknya, jangan memandang dari sisi kehilangan,
tetapi lihatlah bahwa kita pernah diberi kesempatan untuk memiliki, di saat
tidak semua orang mendapatkan kesempatan itu. Bersyukurlah karena pernah
memiliki, walau akhirnya harus kehilangan.
Jika
fokus kita hanya pada apa yang pergi dari kita, sudah pasti kerapuhan tidak
mungkin terelakan. Akhirnya bangkit kembali menjadi sesuatau yang teramat sulit
bagi kita. Harusnya fokuslah pada kesempatan yang sempat kita miliki. Tidak
semua perjumpaan yang kita alami, juga dialami oleh orang lain. Tidak semua yang pernah kita miliki, juga dimiliki oleh orang lain. Maka bersyukurlah pada
hal-hal itu. Agar kita lebih lapang dan ikhlas atas perpisahan dan kehilangan.
Bukankah dunia ini telah mengajarkan kepada kita, bahwa memang tak pernah ada
yang abadi, semua akan pergi, semua akan berakhir, semua akan hancur, semua
akan tergantikan, semua punya awal dan akhir.
Ketika mata hari muncul di ufuk timur, lalu perlahan meninggi, hingga persis vertikal di atas kepala kita, tapi akhirnya dia tegelincir, lalu tenggelam di langit barat. Atau bintang yang menabur menambah indah langit biru kala mata hari telah hilang dari peraduannya, malam pekat menjadi indah. Tetapi ketika matahari kembali muncul di langit timur, bintang gemintang itu pun sirna. Atau api yang membakar kayu, hingga kayu memerah bara, membumbung tinggi asap putih. Tetapi ketika api padam, tinggallah bara merah itu dengan asap-asap tipis, namun tidak lama setelahnya, asap menghilang dan bara tak lagi memerah, meninggalkan hitam, sebagai petanda api pernah membakar disitu. Atau awan mendung, yang membentur-bentur satu sama lain, menciptakan gemuruh, memercikkan petir, lalu membasah kuyupkan bumi karena muntahan airnya. Namun akhinya sirna, ketika angin berhasil mendorong awan ke atas belahan bumi yang lain, hanya menyisakan lembab di atas tanah bumi.
Apakah malam pernah mengutuk siang? atau sebaliknya siang mengutuk malam? pernahkah bintang protes kala sang merah saga sekonyong-konyong mengusir mereka dari langit biru? pernahkah bara mencela api karena pergi menyisakan hitam padanya, padahal bara pernah gagah memerah karena api pernah hinggapinya? atau pernahkah hujan menghardik awan, karena berhenti melepasnya ke bumi saat dia tengah asik bercengkerama ria dengan tanah atau dedaunan dan atap rumah manusia? atau pernahkah awan memarahi angin, karena mengusirnya saat tengah melepaskan hujan ke bumi? Mereka tak serapuh manusia-manusia yang tak pernah bersyukur atas perjumpaan dan kesempatan memiliki. Mungkin saja mereka bahkan tertawa riang, karena pernah diberi kesempatan menunaikan tugasnya masing-masing, hingga lupa bahwa baru saja mereka dipaksa berhenti menunaikan tugasnya. Rupanya mereka tengah mendidik kita, bahwa bgitulah siklus hidup ini, semua harus berganti, semua harus berputar, yang datang harus kembali, yang dekat akan menjauh, yang terpegang akan terlepas, tak ada yang akan selamanya.
Memang perih saat perjumpaan harus berakhir karena perpisahan, memang sakit saat tak lagi memiliki karena harus kehilangan. Jika pun harus terisak, terisaklah hanya sekedar untuk mengikhlaskan. Bangkit lagi, tersenyum lagi, begini lah hidup ini, apalagi dunia hanya sandiwara, tak perlu mengiranya sebagai segalanya.
Ketika mata hari muncul di ufuk timur, lalu perlahan meninggi, hingga persis vertikal di atas kepala kita, tapi akhirnya dia tegelincir, lalu tenggelam di langit barat. Atau bintang yang menabur menambah indah langit biru kala mata hari telah hilang dari peraduannya, malam pekat menjadi indah. Tetapi ketika matahari kembali muncul di langit timur, bintang gemintang itu pun sirna. Atau api yang membakar kayu, hingga kayu memerah bara, membumbung tinggi asap putih. Tetapi ketika api padam, tinggallah bara merah itu dengan asap-asap tipis, namun tidak lama setelahnya, asap menghilang dan bara tak lagi memerah, meninggalkan hitam, sebagai petanda api pernah membakar disitu. Atau awan mendung, yang membentur-bentur satu sama lain, menciptakan gemuruh, memercikkan petir, lalu membasah kuyupkan bumi karena muntahan airnya. Namun akhinya sirna, ketika angin berhasil mendorong awan ke atas belahan bumi yang lain, hanya menyisakan lembab di atas tanah bumi.
Apakah malam pernah mengutuk siang? atau sebaliknya siang mengutuk malam? pernahkah bintang protes kala sang merah saga sekonyong-konyong mengusir mereka dari langit biru? pernahkah bara mencela api karena pergi menyisakan hitam padanya, padahal bara pernah gagah memerah karena api pernah hinggapinya? atau pernahkah hujan menghardik awan, karena berhenti melepasnya ke bumi saat dia tengah asik bercengkerama ria dengan tanah atau dedaunan dan atap rumah manusia? atau pernahkah awan memarahi angin, karena mengusirnya saat tengah melepaskan hujan ke bumi? Mereka tak serapuh manusia-manusia yang tak pernah bersyukur atas perjumpaan dan kesempatan memiliki. Mungkin saja mereka bahkan tertawa riang, karena pernah diberi kesempatan menunaikan tugasnya masing-masing, hingga lupa bahwa baru saja mereka dipaksa berhenti menunaikan tugasnya. Rupanya mereka tengah mendidik kita, bahwa bgitulah siklus hidup ini, semua harus berganti, semua harus berputar, yang datang harus kembali, yang dekat akan menjauh, yang terpegang akan terlepas, tak ada yang akan selamanya.
Memang perih saat perjumpaan harus berakhir karena perpisahan, memang sakit saat tak lagi memiliki karena harus kehilangan. Jika pun harus terisak, terisaklah hanya sekedar untuk mengikhlaskan. Bangkit lagi, tersenyum lagi, begini lah hidup ini, apalagi dunia hanya sandiwara, tak perlu mengiranya sebagai segalanya.