Fetching data...

Tuesday, 30 June 2015

"Buku Hijau" dan Simbol Perploncoan

Apa yang ada fikirkan pertama kali ketika mendengar "OPAK" atau "OSPEK" ?. Ya, pikiran kita akan tertuju pada masa-masa awal menjadi mahasiswa baru yang sedang mengikuti masa orientasi, yaitu masa dimana para mahasiswa baru diplonco habis-habisan oleh para senior yang menjadi panitia OPAK atau OSPEK.

OPAK atau OSPEK sendiri sebenarnya adalah sebuah budaya yang sudah turun-temurun dan menjadi adat kebiasaan, sehingga seolah menjadilah suatu "hukum" yang harus dilaksanakan. Dan budaya ini memang tidak hanya berlaku di Indonesia, bahkan di negara lain pun, budaya orientasi pengenalan akademik untuk mahasiswa baru juga ada. Tapi tentu dengan metode dan cara yang bisa saja berbeda. Jika merunut pada sejarah -menurut beberapa sumber yang saya baca- OPAK/OSPEK itu diadakan pertama kali di Universitas Cambridge, Inggris. Karna konon ketika itu mayoritas mahasiswanya adalah berasal dari keluarga terhormat, sehingga mereka sulit diatur dan malah cenderung seenaknya. Maka para senior ketika itu merasa perlu untuk membuat kegiatan dimana mahasiswa baru diplonco, dengan tujuan agar mahasiswa baru hormat pada kakak angkatannya, tidak lebih. 
Di Indonesia sendiri, ada yang berpendapat bahwa budaya OPAK muncul pada tahun 1950an. Namun ada juga yang mengatakan bahwa budaya OPAK/OSPEK sudah ada ketika zaman kolonial Belanda, persisnya di sekolah dokter hindia atau STOVIA  (1898-1927). Kemudian terus berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942)yang sekarang  menjadi FKUI Salemba. (Entahlah, saya tidak ingin membahas sejarah kapan pertama kali budaya OPAK/OSPEK ada di Indonesia pada tulisan ini)

Nyaris tidak kita temukan di perguruan tinggi mana pun di Indonesia yang tidak mengamalkan budaya OPAK/OSPEK itu. Sayangnya, budaya OPAK/OSPEK di Indonesia, umumnya hanyalah merupakan agenda perploncoan kepada mahasiswa baru dan sama sekali tidak ada nilai edukatif yang menonjol. Ini adalah fakta yang tidak bisa kita pungkiri. Salah satu ciri khas OPAK/OSPEK mahasiswa baru di perguruan tinggi di Indonesia adalah mahasiswa diwajibkan menggunakan atribut-atribut yang saya kira sama sekali tidak ada nilai edukatifnya dan justru tidak menghargai para mahasiswa baru sebagai calon Intelektual-intektual muda. 

Bagaimana mungkin para calon intelektual muda diwajibkan untuk berkalungkan kaleng bekas, bertopikan kertas berbentuk krucut atau model lainnya, bertaskan kantong plastik dengan bertalikan rafia, dan segala atribut lainnya yang justru membuat para mahasiswa baru terlihat seperti (maaf) gelandangan atau orang sinting.  Beginikah para calon intelektual muda diperlakukan ?,atau beginikah calon intelektual muda disambut ?. Sayangnya atribut-atribut itu seolah telah menjadi simbol untuk setiap kegiatan OPAK/OSPEK di Indonesia. Atribut-atribut itu akhirnya adalah simbol perploncoan terhadap mahasiswa baru !

Ironi cover "Buku Hijau"

Mungkin sebagian anda bertanya  apa itu "Buku Hijau"?. Jadi, "Buku Hijau" adalah BUKU PEDOMAN yang merupakan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam. "Buku Hijau" berisi acuan, rambu-rambu atau aturan-aturan tentang Organisasi Kemahasiswaan dan Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).

Ada hal yang sebenarnya mengusik pikiran saya, sehingga membuat saya tertarik untuk menuliskan tulisan ini. Suatu hal yang saya kira aneh dan tidak patut. Hal ini tentang gambar depan cover "Buku Hijau" (lihat gambar di atas), yaitu gambar para mahasiswi yang sedang mengikuti kegiatan OPAK dengan menggunakan Simbol Perploncoan. 

Jika kita membaca isi dari "Buku Hijau" -pada halaman 28 sampai yang terakhir halaman 42- yang memaparkan pedoman untuk OPAK, maka akan sangat bertolak belakang isi yang disampaikan dengan gambar pada cover "Buku Hijau" itu sendiri. Seperti sudah saya jelaskan di depan bahwa, atribut-atribut seperti yang dipakai para mahasiswi yang telihat dalam gambar pada cover depan "Buku Hijau" itu, adalah merupakan atribut-atribut yang sama sekali tidak ada nilai edukatifnya !. Atribut-atribut itu adalah merupakan simbol perploncoan tehadap para mahasiswa baru yang notabene adalah calon-calon intelektual muda. Maka sangat tidak tepat gambar itu menjadi cover depan sebuah BUKU PEDOMAN resmi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. 

Sebab dengan gambar pada cover depan "Buku Hijau" itu, seolah membenarkan penggunaan atribut-atribut tidak mendidik yang merupakan simbol perploncoan. Padahal dengan tegas pada pasal 6 dari BAB III tentang Fungsi dan Tujuan OPAK, dijelaskan bahwa fungsi dari OPAK adalah mendidik, membimbing, dan mengarahkan peserta untuk mengenali dan memahami sistem pendidikan di lingkungan PTAI. Maka sangat bertolak belakang penggunaan atribut-atribut aneh itu dengan semangat OPAK itu sendiri.

Logika apa yang dipakai untuk mengatakan bahwa atribut-atribut aneh itu adalah merupakan salah satu proses mendidik ?, atau adalah merupakan bentuk penugasan yang edukatif ?. Ingat bahwa, yang sedang dihadapi dalam OPAK adalah mereka yang telah resmi menjadi seorang siswa baru dengan tambahan "Maha" di depannya. Bukan lagi siswa Taman Kanak-kanak atau Siswa Sekolah Dasar. Maka memperlakukan mereka -para Mahasiswa baru- adalah dengan cara-cara yang dewasa dan dengan sikap yang menghargai mereka sebagai para calon intelektual muda yang baru. 

Perlu diketahui; siapa itu Mahasiswa !

Mahasiswa adalah kelompok masyarakat intelektual, atau seperti yang dikatakan Andi Rahmat dan Mukhamad Najib dalam bukunya "Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus", bahwa mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang sadar dan tersadarkan, serta suatu kelompok masyarakat yang sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika sosial masyarakat secara keseluruhan. Ini sejalan dengan salah satu point dari tujuan OPAK yang dijelaskan pada Pasal 7 tentang tujuan OPAK dalam BAB III tentang Fungsi dan Tujuan OPAK, yaitu pada huruf (b). Disana dijelaskan bahwa, tujuan OPAK kepada mahasiswa baru adalah mengembangkan kecerdasan Spritual, emosional, intelektual dan sosial.

Para mahasiswa, sebagai masyarakat intelektual harus bersikap responsif terhadap keadaan sosial masyarakat dan siap untuk terjun dimasyarakat dan kemudian bersenyawa dengan persoalan-persoalan yang ada, lalu memberikan kontribusi positif, sebagai bentuk ekspresi tanggung jawab ideologisnya, dan sebagai implementasi dari kecerdasan emosional serta kecerdasan intelektualnya. Atau singkatnya, seperti yang sering kita dengar bahwa mahasiswa adalah agent of change, social control dan iron stock.

Agen of change, adalah bahwa mahasiswa merupakan agen perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Sejarah telah mencatat bagaimana peran mahasiswa begitu besar dalam perjalanan bangsa ini, ide-ide besar dan semangatnya menjadi batu bata yang tersusun membentuk bangunan Indonesia. Maka sebagai agen perubahan, mahasiswa yang notabene adalah masyarakat intelektual harus benar-benar menyadari akan perannya itu dan mampu berdiri di garda terdepan pada perbaikan dan perubahan bangsa.

Social control, adalah bahwa mahasiswa merupakan pengontrol sosial. Mahasiswa harus mampu mengawal dan mengontrol jalannya pemerintahan, mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengamati perilaku sosial masyarakat. Mahasiswa memiliki peranan penting tatkala pemerintah tidak lagi pada rel yang sebenarnya, tatkala budaya di masyarakat telah melenceng pada garis yang semestinya, dan tatkala budaya yang sejatinya akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat malah menjadi sesuatu yang tumbuh subur di masyarakat. Maka mahasiswa mempunyai peran penting dalam pengontrolan dan pengawalan itu semua.

Iron stock. Mahasiswa adalah calon penerus estafet kepemimpinan bangsa. Mahasiswa tidak akan selamanya duduk dan bergumulan dengan dunia kampus, mereka akan keluar dari sarang mereka untuk bekerja langsung di lapangan. Maka benar-benar mahasiswa harus menyiapkan dirinya dengan tidak hanya menjadi seorang akademisi semata, tetapi juga seorang organisatoris yang tentu sebagai bekal menjalankan kepemimpinan bangsa. Sehingga tak berlebihan jika orang mengatakan bahwa, bagaimana bangsa ini di masa yang akan datang adalah bagaimana kaum mudanya dimasa sekarang. Bagaimana mahasiswa sekarang, adalah merupakan cerminan bagaimana nasib Indonesia di masa-masa akan datang.

Peran-peran penting itu tentu tidak akan mungkin bisa dilaksanakan oleh mahasiswa yang bermental kanak-kanak atau mahasiswa yang justru tidak layak disebut mahasiswa. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kegiatan OPAK yang menjadikan mahasiswa baru sebagai korban perploncoan, yang salah satu bentuk bahkan simbol dari perploncoan itu adalah atribut-atribut layaknya (maaf) orang sinting yang diwajibkan untuk dipakai oleh para Mahasiswa baru. Merupakan kegagalan awal dalam mendidik mahasiswa baru untuk benar-benar menjadi kelompok masyarakat intelektual yang sadar dan tersadarkan.

Menghilangkan asumsi salah

Semestinya "Buku Hijau" yang merupakan BUKU PEDOMAN yang resmi dari Dirjend didesain dengan lebih baik. Harus singkron antara isi yang ada di dalam BUKU PEDOMAN itu dengan pesan yang dapat diterima dari gambar pada cover depannya. Hal ini penting untuk mencegah munculnya asumsi-asumsi salah bahwa  budaya penggunaan atribut-atribut aneh itu adalah tidak menjadi masalah untuk dilestarikan pada kegiatan OPAK.

Pembenahan pada kegiatan OPAK adalah harus dimulai dari hal-hal yang mungkin dianggap kecil ini. Sebab hal ini justru akan berpengaruh terhadap pembangunan mental seorang mahasiswa baru sejak awal. Jangan lagi OPAK hanya sebagai ajang perploncoan dan hura-hura yang sangat tidak mendidik dan justru outputnya adalah mahasiswa-mahasiswa yang tidak siap menjadi mahasiswa itu sendiri.


wallaahu'alam

Load comments

Ads 970x90