Fetching data...

Sunday, 22 March 2020

Covid 19 dan Kesadaran Kolektif Kita

Sulaiman Tahir, SH*


Pandemi Covid 19 menjadi monster tidak terlihat yang sangat mengkhawatirkan negara-negara di dunia, awal mula pandemi ini meledak di Wuhan sampai akhirnya menyebar ke setidaknya 117 negara, virus ini telah menginveksi lebih dari 307.297 orang di seluruh dunia, dengan korban meninggal tidak kurang dari 13.047 jiwa. Kita tahu, selain perang, penyakit menular adalah “musuh” yang paling banyak mematikan manusia bahkan sebelum era globalisasi.

Berbagai macam virus telah muncul sejak berabad-abad lalu dan menimbukkan penyakit-penyakit yang menakutkan, penyebarannya sangat cepat, massal dan sulit ditanggulangi. Apalagi virus memang sulit dimatikan, dan bisa bermutasi menjadi bentuk lain yang tidak terduga. 

Pada abad ke 14 muncul “The Black Death” atau umum kita kenal dengan “Pes”. Pes hampir memusnahkan penduduk Eropa, sebab 60% populasinya berkurang akibat penyakit ini, ada ratusan juta orang tewas di berbagai belahan bumi. Selain Pes, masih banyak lagi deretan penyakit menular yang menyerang dan membunuh puluhan hingga ratusan juta populasi manusia, misalnya cacar, kolera, AIDS, H3N2, Ebola dan lainnya.

Hari ini, Covid 19 menimbulkan kepanikan luar biasa di berbagai negara, tidak sedikit kerugian akibat pandemi ini. Indonesia termasuk negara yang cukup kerepotan dan tergagap-gagap menghadapi covid 19, ketidaksiapan medis hingga rapuhnya ekonomi negara menjadi tantangan berat Indonesia melawan pandemi. Jumlah kasus di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dari hari ke hari, informasi per 22 Maret 2020, telah ada 514 kasus yang tersebar di 20 provinsi dengan total meninggal 48 jiwa, sembuh 29 jiwa. Apakah 514 kasus ini adalah real? Ataukah hasil dari yang berhasil teridentifikasi melalui tes saja? Lantas ada berapa korban posistif yang belum dites? Belum ada yang mengetahui secara pasti.

Secara umum kita melihat ada dua cara penanggulangan Covid 19 di berbagai negara untuk menekan angka penyebaran dan kematian, yakni dengan melakukan tes massal dan lockdown, Indonesia sepertinya akan mengadopsi opsi pertama, sebab inilah yang paling mungkin jika dibanding opsi kedua. Di tengah lemahnya ekonomi Indonesia, lockdown akan menjadi pilihan yang sangat sulit dilakukan, sebab akan semakin memperpuruk ekonomi Indonesia. Belum lagi jika melihat UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, jika terjadi karantina kesehatan (lockdown), maka kebutuhan dasar masyarakat yang berada dalam wilayah karantina, akan menjadi tanggungan pemerintah. Saya agak ragu untuk percaya bahwa Indonesia akan siap melakukan itu.

Dalam kondisi yang sulit seperti ini, saya kira pemerintah harus membuka akses informasi seluas-luasnya dan setransparan mungkin tentang bahayanya pandemi dalam kacamata sains dan berbagai implikasi yang ditimbulkannya, sehingga muncul pemahaman dan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, ini bisa menjadi modal besar untuk melawan Covid 19. Tentu untuk melakukan itu, pemerintah dapat melibatkan berbagai stakeholder layaknya dalam program pembangunan berkelanjutan.

Terkait kesadaran kolektif ini, menarik apa yang ditulis Ilmuan asal Israel, Yuval Noah Harari yang dipublikasikan di situs amp.ft(dot)com, berjudul “Yuval Noah Harari: The Word After Coronavirus”, dia mengatakan bahwa dalam menghadapi pandemic, kita dihadapkan pada dua pilihan penting; pertama, antara “totalitarian surveillance” (pengawasan secara total ) dan “citizen empowerment” (pemberdayaan masyarakat). Kedua, antara “nationalist isolation” (isolasi nasional) dan “global solidarity” (kerjasama global). Harari lebih merekomendasikan “citizen empowerment” dan “global solidarity” untuk menghadapi pandemi. Dua pilihan lainnya bukan tidak dapat melawan laju penyebaran pandemi, namun efek jangka panjang sebagai akibat yang akan muncul dari dua pilihan itu, yang tentu cukup mengkhawatirkan, sehingga dua pilihan ini layak dikesampingkan. Misalnya, dengan teknologi pengawasan yang canggih, “totalitarian surveillance” mungkin dapat menekan angka penularan dan kematian akibat pandemi, namun pilihan ini akhirnya memberikan akses pemerintah untuk mendeteksi dan mengumpulkan informasi-informasi masyarakat yang lebih privat (under skin), dan ini berpotensi dimanfaatkan pemerintah dan korporasi untuk suatu kepentingan bisnis atau politik pasca pandemi.

“Citizen empowerment” dan “global solidarity” adalah langkah yang sangat baik untuk melawan pandemi. Dengan adanya “citizen empowerment”, masyakarat akan secara aktif terlibat melawan covid 19. Pemberdayaan masyarakat pada akhinya akan menumbuhkan kesadaran bersama, swadaya dan partisipasi. Masyarakat dengan sendirinya akan melaporkan secara jujur kondisi kesehatan mereka, atau dengan sadar mulai menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh, serta membatasi interaksi dan aktivitas yang berpotensi terjadinya penularan virus. Sementara itu, “global solidarity” adalah bentuk daripada kesadaran negara-negara di dunia untuk menjadikan pandemi sebagai musuh bersama, dan menempatkan kepentingan manusia secara global di atas kepentingan sempit masing-masing negara. Dengan begitu ada sharing informasi dan sumberdaya antara negara-negara di dunia.

Indonesia di tengah bencana pandemi Covid 19, selain harus belajar dari pengalaman negara lain serta keterbukaan untuk melakukan kerjasama dalam melawan pandemi, pilihan “citizen empowerment” menjadi sangat penting, ini menjadi salah satu PR besar bagi para pemegang kebijakan, dan siapa saja yang peduli pada kesehatan dan keselamatan bersama. Hari ini kita menyaksikan kurangnya pemahaman dan kesadaran banyak masyarakat Indonesia tentang pola hidup sehat dan bahayanya penyebaran virus, sehingga masih banyak yang menggap remeh pandemi. Bayangkan dalam kedaan semacam itu, di tengah ketidaksiapan medis Indonesia, diperparah lagi dengan keadaan ekonomi yang suram, tiba-tiba ledakan kasus baru muncul dalam jumlah yang jauh lebih besar dengan skala penyebaran yang juga lebih luas. Bukan tidak mungkin Indonesia akan tersungkur, terjadi kekacauan pada segala aspek.

Kita berdoa agar pandemi ini segera berakhir, tentu dibarengi dengan ikhtiar sebaik-baiknya. Saling mengingatkan dan saling menguatkan, agar muncul kesadaran kolektif. Saya percaya, dengan bermodal kesadaran kolektif tadi, Indonesia mampu melewati masa-masa sulit ini dengan lebih cepat. Semoga.

*Pegiat "New Native"
Yogyakarta, 22 Maret 2020

Load comments

Ads 970x90