Landasan Epistimologi Ilmu
Epistimologi berbicara tentang bagaimana memperoleh ilmu atau
sumber-sumber ilmu, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the theory of
knowledge. Sementara itu, Ilmu adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi
manusia, sehingga memahami dengan baik sumber ilmu adalah hal yang penting.
Sumber ilmu –sebagaimana sumber hukum- adalah penentu diterima atau
tidaknya ilmu tersebut sebagai suatu kebenaran. Dalam hukum Islam misalnya, masadirul
ahkam (sumber-sumber hukum Islam) yang pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Segala aturan atau hukum harus berdasarkan pada aturan yang ada di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, jika tidak maka ditolak. Ijma’ sendiri –sebagai sumber hukum yang lain setelah al-Qur’an dan Sunnah, yang membahas aturan yang tidak di bahas dalam al-Qur’an dan Sunnah- pun tetap bersandarkan pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah. Begitu pula halnya ilmu, jika sumbernya salah maka harus ditolak sebagai suatu kebenaran. Demikian pula tidak dapat dibenarkan ketika ada salah satu sumber ilmu yang ditiadakan, sebab akan mengacaukan hakikat ilmu dan kegunaan ilmu itu sendiri.
Dalam tradisi keilmuan barat, dalam persoalan epistimologi, ilmu diklaim
hanya bersumber pada rasio dan panca indera. Sehingga sesuatu hanya akan dapat
disebut ilmu (science) jika dapat diterima oleh akal (logis) dan dapat
dicapai oleh panca indera (empiris) atau alat bantu yang memungkinkan panca
indera untuk mencapainya. Inilah yang dalam keilmuan Barat disebut dengan ilmu
yang ilmiah (science), sedangkan selain yang oleh rasio dibenarkan dan
secara empiris pun dapat dibuktikan, disebut dengan ilmu yang hanya sekedar
pengetahuan yang tidak ilmiah (knowledge), atau bisa hanya sebatas
teori, bahkan hanya praduga semata.
Epistimologi semacam itu sangat berseberangan dengan epistimologi
dalam tradisi keilmuan Islam. Islam sangat menghargai ilmu, sebab dalam Islam
ilmu adalah anugerah yang sangat berharga dari Allah SWT. Bahkan dalam Islam,
untuk mendapat bahagia di dunia alatnya adalah ilmu, untuk mendapatkan bahagia
di akhirat pun harus juga dengan ilmu. Sehingga Islam memiliki sarana-sarana
atau jalan-jalan tersendiri untuk mendapatkan ilmu, para ulama menyepakati
bahwa landasan epistimologi ilmu dalam Islam didasarkan pada pancaindera (alhawasulkhams),
akal yang sehat (al-aql salim) dan kabar yang benar (al-khabar shadiq).
Di sini jelas terlihat perbedaan antara epistimologi Barat yang hanya mengakui
ilmu sebagai sesuatu yang dapat diindera (empiris) dan dapat dijangkau akal
(rasio atau logis), sedangkan Islam selain pancaindera dan akal, ada sumber
lain yang bahkan menjadi sumber utama, yakni al-khabar shadiq (berita
yang benar atau Wahyu).
Dalam Islam, pancaindera (Indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, peraba dan perasa) dibenarkan bahwa memberikan informasi dan juga
sumber ilmu kepada manusia. Hal ini sama dengan Barat yang juga dalam
epistimologinya, menerima pancaindera sebagai sumber ilmu. Namun hal ini tidak
berarti tradisi keilmuan Islam sama seutuhnya dengan Barat. Sebagai contoh, ada
satu aliran ekstrim empiris dalam tradisi keilmuan Barat, yang sangat
berseberangan dengan epistimologi Islam, aliran tersebut adalah positivisme.[1]
Masing-masing pancaindera memberikan konsep ilmu atau informasi
tersendiri. Pengetahuan tentang rasa empedu yang pahit, hanya akan bisa
dibuktikan dengan indera perasa (lidah), dan ini adalah kebenaran karena memang
demikian rasa empedu yang dapat dibuktikan indera perasa manusia. Demikian pula
tentang konsep warna, kemampuan membedakan beraneka ragam warna, hanya akan
dapat dicapai dengan indera penglihatan. Adanya konsep warna yang beragam,
seperti merah, kuning, hijau, biru dan lainnya adalah informasi yang benar dan
bukan perspektif masing-masing orang yang spekulatif. Begitu pula konsep ilmu
dan informasi yang diperoleh dari indera-indera yang lain.
Akal yang sehat juga sebagaimana pancaindera; bahwa merupakan
sumber yang memberikan informasi dan konsep ilmu kepada manusia. Prof. Wan Mohd
Nor Wan Daud menjelaskan bahwa aspek akal manusia merupakan saluran yang
penting yang dari akal tersebut manusia memperoleh ilmu pengetahuan tentang
sesuatu hal yang jelas, yakni sesuatu yang dapat dipahami dan dikuasai akal,
dan tentang sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera. Lebih lanjut menurut
Prof. Wan Mohd Nor, bahwa akal bahkan tidak hanya sekedar rasio (kemampuan
membandingkan, mempertimbangkan, mengidentifikasi sebab akibat atau menalar
sesuatu, pen), tetapi akal juga merupakan “fakultas mental” atau “lembaga”
dalam diri manusia yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris
(sesuatu yang diindera) menurut kerangka logika, sehingga apa-apa yang mampu
diindera manusia menjadi sesuatu yang dapat difahami.[2]
Contoh sederhana adalah bulan yang terindera oleh mata manusia,
yang secara inderawi bulan adalah kecil dan mengeluarkan cahaya serta selalu
mucul dan menghilang pada tanggal-tanggal tertentu dengan perubahan-perubahan
bentuknya, itulah pengetahuan menurut pancaindera. Namun akal mampu memberikan informasi
atau ilmu pengetahuan yang lebih tinggi lagi, bahwa bulan tidaklah kecil,
tetapi besar. Bulan terlihat kecil karena sesuatu memang akan terlihat semakin
kecil -bahkan tak terlihat sama sekali- ketika jaraknya dengan indera
penglihatan kita semakin jauh. Demikian juga bulan tidaklah mengeluarkan cahaya
secara mandiri, namun memantulkan sinar matahari. Terkait bulan yang muncul
pada waktu-waktu tertentu dengan perubahan-perubahan bentuknya, lalu menghilang
lagi pada waktu tertentu pula, atau perubahan-perubahan fase bulan adalah karena
akibat perubahan sudut dan garis yang menghubungkan matahari-bumi-bulan sewaktu
bulan mengorbit bumi.
Mengenai al-khabar shadiq (berita yang benar), menurut
ulama’ terbagi atas dua jenis, yakni al-khabar al-mutawatir dan al-khabar
Rasul al-muayyad bil mu’jizah. al-khabar al-mutawatir adalah berita
mutawatir (disampaikan bersambung-sambung seperti mata rantai; tidak terputus)
yang didasarkan berdasarkan data empiris (nyata). Lalu disampaikan dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang mana akal tidak menolak bahwa mereka tidak
mungkin bersekongkol untuk melakukan kebohongan atau berdusta tentang apa yang
disampaikan itu. Sedangkan al-khabar
Rasul al-muayyad bil mu’jizah adalah berita dari Rasulullah yang disokong
oleh mu’jizat, yaitu wahyu.[3]
Untuk jenis yang pertama, yakni berita mutawatir atas suatu data
empiris, contohnya seperti kebenaran bahwa Hasan al-Banna itu benar-benar ada
wujudnya, dia ada dan hidup di suatu masa dan tempat pada zaman yang lalu. Pengetahuan
tentang Hasan al-Banna diperoleh oleh orang-orang hari ini bukan karena pernah
berjumpa dengannya (bisa diindera dan akal mengenalnya), tetapi pengetahuan itu
diperoleh dari orang yang memang pernah hidup semasa dengannya, pernah bertemu
dan berinteraksi atau tidak berinteraksi secara langsung dengannya. Lalu dari
orang-orang tersebut pengetahuan tentang adanya Hasan al-Banna diperoleh,
begitu seterusnya berita itu disampaikan turun temurun (baik secara lisan
maupun tulisan) hingga sampai pada orang yang hidup hari ini. Itulah yang
disebut dengan berita mutawatir yang kebenarannya pasti. Masuk pula dalam hal
ini adalah hadis yang shahih, orang meyakini keberan hadis yang shahih adalah
karena hadis itu disampaikan secara terun-temurun oleh orang-orang yang tidak
diragukan lagi kualitas keadilan, kejujuran, keikhlasan dan kebaikan imannya
karena telah diseleksi dengan ketat (baca: jarh wa ta’dil). Sehingga
kita percaya hadis itu benar; bahwa Rasulullah pernah berbuat (fi’liyah),
berkata (qauliyah), dan menetapkan (taqririyah) sesuatu
sebagaimana yang diinformasikan oleh hadis tersebut.
Contoh untuk jenis yang kedua, yaitu al-khabar Rasul al-muayyad
bil mu’jizah (berita dari Rasulullah yang disokong oleh mu’jizat), yaitu
segala sesuatu berita dari Rasulullah yang didukung oleh kemukjizatan dan
berdasarkan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui malaikat jibril atau
secara langsung dihujamkan kedalam diri Rasulullah (baca: nuzulul qur’an).
Rasulullah pernah mengalami isra’ mi’raj untuk menerima perintah shalat lima
waktu dari Allah di sidratulmuntaha, perjalanan Rasulullah dari bumi hingga ke
sidratulmuntaha hanya memakan waktu satu malam saja. Ini adalah peristiwa yang
sukar diterima oleh akal, karena bukan hal yang biasa. Inilah mu’jizat
Rasulullah, sedangkan mu’jizat sendiri adalah khariju minal ‘adat (sesuatu
yang keluar dari adat kebiasaan), sesuatu keadaan luar biasa yang memang bukan
domain (wilayah) yang mampu dijangkau akal dan diluar kebiasaan manusia. Peristiwa
Rasulullah membelah bulan, itu adalah hal yang mustahil bagi akal, namun
sahabat-sahabat Nabi mengalami peristiwa itu, sehingga mereka membenarkannya
walau akal mereka sukar menalarnya. Informasi-informasi yang disampakan
Rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah, adalah kebenaran yang mutlak, walau
tidak empiris ataupun tidak dapat dijangkau akal. Informasi tentang alam kubur,
surga dan neraka, malaikat dan hal-hal lainnya adalah keberan yang mutlak,
itulah ilmu yang benar karena bersumber dari wahyu.
Lanjut Bagian Empat...
[1] Untuk
Positivisme ini, akan dibahas pada bagian selanjutnya.
[2] Persoalan ini
dijelaskan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam makalahnya yang berjudul Konsep
Ilmu dalam Tinjauan Islam, lihat Adian Husaini, “Pengantar Editor”, dalam
dalam Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, hlm. xviii
[3] Ugi Suharto,
“Epistimologi Islam”, dalam Laode M. Kamaluddin (ed), On Islamic
Civilization, (Semarang: UNISSULA PRESS, 2010), hlm. 152 - 153