Fetching data...

Tuesday, 7 February 2017

Filsafat Ilmu (Bagian Ketiga)

    Landasan Epistimologi Ilmu
Epistimologi berbicara tentang bagaimana memperoleh ilmu atau sumber-sumber ilmu, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the theory of knowledge. Sementara itu, Ilmu adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, sehingga memahami dengan baik sumber ilmu adalah hal yang penting.

Sumber ilmu –sebagaimana sumber hukum- adalah penentu diterima atau tidaknya ilmu tersebut sebagai suatu kebenaran. Dalam hukum Islam misalnya, masadirul ahkam (sumber-sumber hukum Islam) yang pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah.

Segala aturan atau hukum harus berdasarkan pada aturan yang ada di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, jika tidak maka ditolak. Ijma’ sendiri –sebagai sumber hukum yang lain setelah al-Qur’an dan Sunnah, yang membahas aturan yang tidak di bahas dalam al-Qur’an dan Sunnah- pun tetap bersandarkan pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah. Begitu pula halnya ilmu, jika sumbernya salah maka harus ditolak sebagai suatu kebenaran. Demikian pula tidak dapat dibenarkan ketika ada salah satu sumber ilmu yang ditiadakan, sebab akan mengacaukan hakikat ilmu dan kegunaan ilmu itu sendiri.

Dalam tradisi keilmuan barat, dalam persoalan epistimologi, ilmu diklaim hanya bersumber pada rasio dan panca indera. Sehingga sesuatu hanya akan dapat disebut ilmu (science) jika dapat diterima oleh akal (logis) dan dapat dicapai oleh panca indera (empiris) atau alat bantu yang memungkinkan panca indera untuk mencapainya. Inilah yang dalam keilmuan Barat disebut dengan ilmu yang ilmiah (science), sedangkan selain yang oleh rasio dibenarkan dan secara empiris pun dapat dibuktikan, disebut dengan ilmu yang hanya sekedar pengetahuan yang tidak ilmiah (knowledge), atau bisa hanya sebatas teori, bahkan hanya praduga semata.

Epistimologi semacam itu sangat berseberangan dengan epistimologi dalam tradisi keilmuan Islam. Islam sangat menghargai ilmu, sebab dalam Islam ilmu adalah anugerah yang sangat berharga dari Allah SWT. Bahkan dalam Islam, untuk mendapat bahagia di dunia alatnya adalah ilmu, untuk mendapatkan bahagia di akhirat pun harus juga dengan ilmu. Sehingga Islam memiliki sarana-sarana atau jalan-jalan tersendiri untuk mendapatkan ilmu, para ulama menyepakati bahwa landasan epistimologi ilmu dalam Islam didasarkan pada pancaindera (alhawasulkhams), akal yang sehat (al-aql salim) dan kabar yang benar (al-khabar shadiq). Di sini jelas terlihat perbedaan antara epistimologi Barat yang hanya mengakui ilmu sebagai sesuatu yang dapat diindera (empiris) dan dapat dijangkau akal (rasio atau logis), sedangkan Islam selain pancaindera dan akal, ada sumber lain yang bahkan menjadi sumber utama, yakni al-khabar shadiq (berita yang benar atau Wahyu).

Dalam Islam, pancaindera (Indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa) dibenarkan bahwa memberikan informasi dan juga sumber ilmu kepada manusia. Hal ini sama dengan Barat yang juga dalam epistimologinya, menerima pancaindera sebagai sumber ilmu. Namun hal ini tidak berarti tradisi keilmuan Islam sama seutuhnya dengan Barat. Sebagai contoh, ada satu aliran ekstrim empiris dalam tradisi keilmuan Barat, yang sangat berseberangan dengan epistimologi Islam, aliran tersebut adalah positivisme.[1]

Masing-masing pancaindera memberikan konsep ilmu atau informasi tersendiri. Pengetahuan tentang rasa empedu yang pahit, hanya akan bisa dibuktikan dengan indera perasa (lidah), dan ini adalah kebenaran karena memang demikian rasa empedu yang dapat dibuktikan indera perasa manusia. Demikian pula tentang konsep warna, kemampuan membedakan beraneka ragam warna, hanya akan dapat dicapai dengan indera penglihatan. Adanya konsep warna yang beragam, seperti merah, kuning, hijau, biru dan lainnya adalah informasi yang benar dan bukan perspektif masing-masing orang yang spekulatif. Begitu pula konsep ilmu dan informasi yang diperoleh dari indera-indera yang lain.

Akal yang sehat juga sebagaimana pancaindera; bahwa merupakan sumber yang memberikan informasi dan konsep ilmu kepada manusia. Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa aspek akal manusia merupakan saluran yang penting yang dari akal tersebut manusia memperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu hal yang jelas, yakni sesuatu yang dapat dipahami dan dikuasai akal, dan tentang sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera. Lebih lanjut menurut Prof. Wan Mohd Nor, bahwa akal bahkan tidak hanya sekedar rasio (kemampuan membandingkan, mempertimbangkan, mengidentifikasi sebab akibat atau menalar sesuatu, pen), tetapi akal juga merupakan “fakultas mental” atau “lembaga” dalam diri manusia yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris (sesuatu yang diindera) menurut kerangka logika, sehingga apa-apa yang mampu diindera manusia menjadi sesuatu yang dapat difahami.[2]

Contoh sederhana adalah bulan yang terindera oleh mata manusia, yang secara inderawi bulan adalah kecil dan mengeluarkan cahaya serta selalu mucul dan menghilang pada tanggal-tanggal tertentu dengan perubahan-perubahan bentuknya, itulah pengetahuan menurut pancaindera. Namun akal mampu memberikan informasi atau ilmu pengetahuan yang lebih tinggi lagi, bahwa bulan tidaklah kecil, tetapi besar. Bulan terlihat kecil karena sesuatu memang akan terlihat semakin kecil -bahkan tak terlihat sama sekali- ketika jaraknya dengan indera penglihatan kita semakin jauh. Demikian juga bulan tidaklah mengeluarkan cahaya secara mandiri, namun memantulkan sinar matahari. Terkait bulan yang muncul pada waktu-waktu tertentu dengan perubahan-perubahan bentuknya, lalu menghilang lagi pada waktu tertentu pula, atau perubahan-perubahan fase bulan adalah karena akibat perubahan sudut dan garis yang menghubungkan matahari-bumi-bulan sewaktu bulan mengorbit bumi.

Mengenai al-khabar shadiq (berita yang benar), menurut ulama’ terbagi atas dua jenis, yakni al-khabar al-mutawatir dan al-khabar Rasul al-muayyad bil mu’jizah. al-khabar al-mutawatir adalah berita mutawatir (disampaikan bersambung-sambung seperti mata rantai; tidak terputus) yang didasarkan berdasarkan data empiris (nyata). Lalu disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain, yang mana akal tidak menolak bahwa mereka tidak mungkin bersekongkol untuk melakukan kebohongan atau berdusta tentang apa yang disampaikan itu. Sedangkan  al-khabar Rasul al-muayyad bil mu’jizah adalah berita dari Rasulullah yang disokong oleh mu’jizat, yaitu wahyu.[3]

Untuk jenis yang pertama, yakni berita mutawatir atas suatu data empiris, contohnya seperti kebenaran bahwa Hasan al-Banna itu benar-benar ada wujudnya, dia ada dan hidup di suatu masa dan tempat pada zaman yang lalu. Pengetahuan tentang Hasan al-Banna diperoleh oleh orang-orang hari ini bukan karena pernah berjumpa dengannya (bisa diindera dan akal mengenalnya), tetapi pengetahuan itu diperoleh dari orang yang memang pernah hidup semasa dengannya, pernah bertemu dan berinteraksi atau tidak berinteraksi secara langsung dengannya. Lalu dari orang-orang tersebut pengetahuan tentang adanya Hasan al-Banna diperoleh, begitu seterusnya berita itu disampaikan turun temurun (baik secara lisan maupun tulisan) hingga sampai pada orang yang hidup hari ini. Itulah yang disebut dengan berita mutawatir yang kebenarannya pasti. Masuk pula dalam hal ini adalah hadis yang shahih, orang meyakini keberan hadis yang shahih adalah karena hadis itu disampaikan secara terun-temurun oleh orang-orang yang tidak diragukan lagi kualitas keadilan, kejujuran, keikhlasan dan kebaikan imannya karena telah diseleksi dengan ketat (baca: jarh wa ta’dil). Sehingga kita percaya hadis itu benar; bahwa Rasulullah pernah berbuat (fi’liyah), berkata (qauliyah), dan menetapkan (taqririyah) sesuatu sebagaimana yang diinformasikan oleh hadis tersebut.

Contoh untuk jenis yang kedua, yaitu al-khabar Rasul al-muayyad bil mu’jizah (berita dari Rasulullah yang disokong oleh mu’jizat), yaitu segala sesuatu berita dari Rasulullah yang didukung oleh kemukjizatan dan berdasarkan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui malaikat jibril atau secara langsung dihujamkan kedalam diri Rasulullah (baca: nuzulul qur’an). Rasulullah pernah mengalami isra’ mi’raj untuk menerima perintah shalat lima waktu dari Allah di sidratulmuntaha, perjalanan Rasulullah dari bumi hingga ke sidratulmuntaha hanya memakan waktu satu malam saja. Ini adalah peristiwa yang sukar diterima oleh akal, karena bukan hal yang biasa. Inilah mu’jizat Rasulullah, sedangkan mu’jizat sendiri adalah khariju minal ‘adat (sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan), sesuatu keadaan luar biasa yang memang bukan domain (wilayah) yang mampu dijangkau akal dan diluar kebiasaan manusia. Peristiwa Rasulullah membelah bulan, itu adalah hal yang mustahil bagi akal, namun sahabat-sahabat Nabi mengalami peristiwa itu, sehingga mereka membenarkannya walau akal mereka sukar menalarnya. Informasi-informasi yang disampakan Rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah, adalah kebenaran yang mutlak, walau tidak empiris ataupun tidak dapat dijangkau akal. Informasi tentang alam kubur, surga dan neraka, malaikat dan hal-hal lainnya adalah keberan yang mutlak, itulah ilmu yang benar karena bersumber dari wahyu.


Lanjut Bagian Empat...



[1] Untuk Positivisme ini, akan dibahas pada bagian selanjutnya.
[2] Persoalan ini dijelaskan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam makalahnya yang berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, lihat Adian Husaini, “Pengantar Editor”, dalam dalam Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, hlm. xviii
[3] Ugi Suharto, “Epistimologi Islam”, dalam Laode M. Kamaluddin (ed), On Islamic Civilization, (Semarang: UNISSULA PRESS, 2010), hlm. 152 - 153

Load comments

Ads 970x90