Fetching data...

Sunday, 10 January 2016

Mengalah Karena Jama'ah

Berorganisasi atau berjama'ah untuk mencapai cita-cita kebaikan, akan menuntut kita untuk mengubur dalam-dalam sikap "aku", lalu kemudian menumbuh suburkan kesatuan jama'ah. Jangan tanya mengapa, karena begitulah hukum alam yang berlaku dalam jama'ah.

Kalau kita menyalahinmya, berarti kita telah mencoba melawan hukum alam. Jika sudah berani melakukan hal itu, maka tunggu saja, pada akhirnya kita akan menjadi pemberontak atau malah akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Kita berjama'ah karena kita ingin bersama-sama untuk membuat suatu pertimbangan, mengambil suatu keputusan dan memperjuangkan suatu kepentingan. Itulah ikrar yang secara tersurat atau pun tersirat kita ucapkan ketika memilih untuk berjama'ah. Suka tidak suka, siap tidak siap, tetap itu harus kita terima dan kita jalankan. Itulah pilihan, itulah komitment yang harus teguh kita pegang dan pertanggung jawabkan.

Sebagai bagian dari jama'ah, tentu kita sebagai orang yang hendak totalitas dan bersikap loyal kepada jama'ah ingin selalu berbuat dan berkontribusi lebih serta yang terbaik bagi jama'ah. Kita ingin pikiran-pikiran dan pendapat yang kita hasilkan dari proses renungan bahkan hitungan-hitungan serta pembacaan yang cermat atas suatu hal, dapat diterima dan menjadi rujukan bahkan motivasi gerak bagi jama'ah. Terlebih kita sebagai manusia dengan fitrahnya yang khas; ingin didengarkan, ingin dihargai dan ingin dianggap ada dalam suatu kehidupan sosial, termasuk dalam sebuah jama'ah.

Apalagi misalnya, kita adalah manusia yang Allah karunia rasa percaya diri diatas rata-rata serta kecerdasan yang bisa diandalkan, sehingga dalam musyawarah-musyawarah jama'ah, kita tampil paling vokal dan antusias membahas suatu hal, seolah kita lah yang paling pantas didengar karena pendapat-pendapat kitalah yang paling baik. Nyaris kita menjadi penguasa dalam forum. Bukan apa-apa, tetapi memang tidak hanya berbekal percaya diri saja kita tampil dalam forum, namun pikiran-pikiran hasil renungan, hitung-hitungan serta pembacaan yang cermat atas suatu masalah telah kita simpan baik-baik dalam memori untuk dikemukakan dalam forum musyawarah jama'ah. Tetapi akhirnya, tidak jarang keputusan jama'ah tidak sejalan dengan pikiran dan pendapat kita. Karena ternyata ada banyak kepala dalam forum musyawarah jama'ah itu, dan kita hanyalah satu dari sekian kepala yang ada. Lebih-lebih keputusan akhir adalah keputusan jama'ah, keputusan bersama. Bukan keputusan yang diambil oleh individu.

Tentu ketika keputusan jama'ah terbalik seratus depan puluh derajat dengan pendapat kita, tanpa kita sadari terkadang rasa kecewa bahkan marah muncul pada diri kita. Betapa tidak, dengan berbagai argumen kita gunakan untuk meyakinkan jama'ah bahwa pendapat kita layak digunakan, ternyata mentah begitu saja ketika keputusan harus diambil oleh jama'ah. Syukur jika kualitas iman kita baik, stok sabar kita banyak atau kita cukup bisa diandalkan dalam persoalan ikhlas dan berbesar hati menerima segala keputusan betapapun berat serta pahitnya. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika kondisi iman kita yang lebih sering turun daripada naik, stok sabar yang sangat minim serta persoalan ikhlas yang menjadi problem yang kita sendiri susah mengendalikan, terlebih hati yang teramat lemah untuk menerima keputusan-keputusan yang berseberangan dengan alur pikiran yang kita bangun. Dengan kondisi iman dan mental yang selemah itu, akan mudah sekali membuat kita marah dan kecewa pada jama'ah, akhirnya dengan tergesa-gesa kita menghakimi jama'ah kita sendiri. Menuduh jama'ah telah salah berbuat dan menuduh telah tidak menghiraukan kita, bahkan pada klimaksnya dengan emosional kita memutuskan, bahwa jama'ah ini sudah tidak layak dipertahankan. Sebegitu lemahnya kita sebagai bagian dari jama'ah. Nauzubillah

Berjama'ah sejatinya mengajarkan kita untuk sabar dan berbesar hati atas segala keputusan yang dibuat untuk kebaikan jama'ah dan kelancaran mewujudkan cita-cita jama'ah, maka sudah semestinya kualitas sabar dan hati kita akan semakin kuat seiring lamanya kita berjama'ah. Sehingga ketika pada perjalannya justru sabar kita perlu dipertanyakan dan hati kita harus digugat karena terlalu lemah dalam menerima keputusan jama'ah, maka disaat itu juga kita wajib introspeksi diri, apa yang telah kita buat dalam jama'ah? sudah sungguh-sungguhkah kita dalam berjama'ah? dan untuk apa dan kepada siapa tujuan kita berjama'ah?. Tidak mungkin dengan berjama'ah justeru membuat kita sedemikian rapuh seperti itu.

Bersabarlah, karena tidak mungkin keputusan yang diambil oleh jama'ah adalah untuk suatu keburukan. Kebaikan pulalah yang menjadi motivasi dan tujuan dari diambilnya keputusan itu. Kita tidak boleh merasa paling benar sendiri, sebab ingat bahwa kita adalah hanya satu orang diantara sekian orang dalam jama'ah. Keputusan itu -betapapun berat kita terima karena tidak sejalan dengan pikiran kita- adalah merupakan hasil pikiran dan pertimbangan banyak orang. Bukan keputusan subjektif seseorang semata, maka belajarlah untuk sabar menerima. Walaupun kemudian, di hari-hari yang akan datang terbukti bahwa ternyata keputusan jama'ah adalah salah dan pendapat kita dahulu adalah yang benar, maka jangan marah, bersabarlah. Karena disana kualitas kita sebagai seorang yang beriman sedang diuji, kualitas kita sebagai seorang prajurit sedang diukur. Biarkan saja semua menyadari kesalahan atas keputusan yang sudah diambil dahulu dan menjadikannya pelajaran, bukankah pelajaran yang amat berharga itu tidak mungkin diterima andai saja pendapat kita dahulu yang digunakan?. Maka mengalahlah karena jama'ah, sebab dengan begitu kita baru akan layak disebut seorang prajurit sejati. Karena kepatuhan kita kepada jama'ah adalah ukuran kualitas kita sebagai seorang prajurut!

Load comments

Ads 970x90