Fetching data...

Saturday, 14 November 2015

Menjadi Pembangun Imperium Kebenaran

Ada dua hal yang membuat kita tidak pernah beranjak dari ruang wacana. Dua hal yang mempuat kita terkubur dan berlumut ria sebagai inferior comunity. Dua hal itu adalah ketidak jujuran kita terhadap cita-cita besar yang bahkan telah bertahun-tahun kita semai dan ketidak seriusan kita dalam memikirkan cita-cita besar itu. Inilah dua hal yang menjadi penyakit berbahaya yang menggerogoti kekuatan barisan kita dan meruntuhkan kepantasan kita sebagai para pejuang.

Semestinya kita bersyukur, karena kita adalah bagian dari manusia-manusia yang -tentu bukan kebetulan- berada di jalan perjuangan ini; jalan yang disana menjadi lintasan mereka yang enggan berdamai dengan ketidak beraturan hidup  dan tidak pernah mau untuk berkompromi dengan kebatilan. Karena tidak semua orang memikirkan itu, tidak semua orang sadar bahwa ketidak beraturan hidup adalah kesalahan dalam mengamalkan tuntunan agama atau bahkan itu adalah bentuk ketidak fahaman terhadap agama. Demikian juga tentang sikap ketidak berkompromian terhadap kebatilan, tidak sedikit manusia-manusia yang melakukan tawar-menawar dengan kebatilan dan bahkan justeru berkawan mesra dengan kebatilan. Padahal kebatilan adalah biangkeladi kekacauan hidup manusia  yang pada akhirnya menjadi asbab terseretnya manusia pada siksaan Tuhan di akhirat kelak.

Semestinya kita bersyukur, karena kita mampu menjadi salah satu dari pejuang-pejuang dakwah yang bersedia menjadi penyambung risalah Nabi. Berjuang untuk menjadikan nila-nilai Islam sebagai pewarna kehidupan manusia dan menjadikannya sebagai rambu-rambu paling sakti bagi kehidupan manusia. Itulah cita-cita kita, membumikan nilai-nilai Islam. 

Hari ini, sebagai mahasiswa cita-cita kita pun tetap sama. Yaitu membumikan nilai-nilai Islam pada skup kampus, pada sektor manapun di kampus yang mampu kita jangkau. Tentu ini bukan hal yang mudah, tapi begitulah aturan mainnya; tidak ada perjuangan yang hanya bermodal ala kadarnya. Apalagi ini adalah proyek dakwah yang tidak kecil, membangun imperium kebenaran di kampus kita sendiri; Kampus Islam yang terlanjur menjadi (maaf) "tong sampah" yang miskin filterisasi terhadap kebatilan. Bermodal inklusi kebablasan, kampus ini menjadi ruang paling nyaman bagi kebatilan. Sadar ataupun tidak sadar serangan paham-paham dan budaya-budaya ngawur begitu progresif di kampus kita, hingga progresifitas itu mampu menghipnotis masyarakat kampus menjadi layu dan merasa hal itu adalah kenyataan yang tidak perlu dipermasalahkan. 

Sayangnya, hari ini kita sebagai para pejuang dakwah bukan hanya bermental inferior  tetapi kita justru benar-benar sebagai inferior. Malah -seperti yang saya katakan diawal- kita berlumut ria dalam kondisi semacam itu. Kita menginginkan nilai-nilai Islam mengakar kuat di kampus ini, memerangi setiap kebatilan dan budaya-budaya perusak, tetapi nyatanya kita tidak mau beranjak dari mental dan posisi yang lemah. inikah pejuang dakwah itu?, Inikah pejuang-pejuang yang merindukan kebaikan-kebaikan bagi umat dan bahkan senantiasa berusaha melakukan kebaikan-kebaikan?, inikah pejuang-pejuang dakwah yang hendak menancapkan nilai-nilai Islam di atas negeri bernama UIN Sunan Kalijaga?. Ironi sekali, kita bahkan tak ubahnya pungguk merindukan bulan.

Ketidak jujuran kita terhadap cita-cita besar yang sedang diperjuangkan dan ketidak seriusan dalam memikirkan cita-cita itu, telah menjadi momok yang benar-benar harus kita benahi. Kita tidak jujur bahwa cita-cita besar yang kita perjungkan adalah bukan masalah sepele, sehingga semangat yang kita bangun untuk cita-cita besar itu hanya berhenti sampai pada ruang wacana saja. Selebihnya pada tahapan konsep dan eksekusi, kita seperti kehilangan tenaga. Padahal sebagai pejuang dakwah, tugas kita untuk membumikan nilai-nilai Islam adalah bukan semata-mata untuk menggugurkan kewajiban. Ini adalah masalah masa depan umat dan masa depan Islam. Maka seharusnya yang kita fikirkan adalah bagaimana proyek dakwah ini selesai di masa kita dan di tangan kita, walau kenyataannya secara rasional sulit untuk merampungkan proyek itu pada masa kita. Tetapi begitulah kita seharusnya, optimisme sudah lebih dahulu ditumbuh suburkan dalam diri dan barisan kita sebagai pejuang dakwah. Bangunan besar imperium kebenaran itu sudah semestinya nyata di dalam fikiran kita sebelum akhirnya kita harus bekerja keras untuk membuatnya nyata terlihat. 

Hari ini kita bisa menyaksikan sendiri, dalam mementum-momentum besar kampus, seperti PEMILWA yang seharusnya menjadi garapan dakwah malah tidak kita manfaatkan dengan baik. Bahkan kita lupa bahwa kerja-kerja dalam proyek dakwah di kampus tidak bisa hanya selesai di tataran non-formal, tetapi pada tataran formal itu penting untuk kita garap. Bagaimana mungkin kita dapat membuat kebijakan-kebijakan yang formal untuk kampus kita dan melaksanakan kebijakan-kebijakan itu dengan baik sekaligus mengawasinya secara formal, sedangkan kita berada pada barisan penonton atau 'rakyat' semata. Maka itulah tugas kita, kita harus masuk dalam sistem dan menjadi aktor disana.

Tetapi lagi-lagi kita terjebak pada ketidak seriusan dalam menggarap proyek dakwah ini, mulai dari konsep, tekhnis hingga eksekusi. Kita bahkan tidak layak disebut sebagai konseptor dan tidak layak pula disebut eksekutor. Jangankan bekerja di lapangan, untuk berfikir tentang bagaimana mencapai cita-cita besar itu  atau sekedar mengucapkan cita-cita besar itu dalam doa-doa yang kita panjatkan saja tidak bisa kita lakukan. Sehingga kelemahan kita bukan hanya pada pikir yang tidak merespon ketika diajak berjalan apalagi berlari, tetapi pada mental dan otot yang tidak berdaya digertak bayangan penghalang kerja-kerja dakwah.

Kita lupa bahwa ada dua hal yang saling berkaitan erat, yaitu "Kesejatian" dan "Konsekuensi logis". Kita seharusnya menjadi pejuang sejati dahulu, agar kita mendapatkan konsekuensi logis yang setimpal, yaitu tercapainya cita-cita dakwah kita. Sebab cita-cita dakwah kita adalah proyek dakwah yang tidak kecil, maka tentu membutuhkan pejuang-pejuang yang juga tidak kecil. Maka sekarang tugas kita adalah menjadi pejuang sejati, yang jujur menempatkan cita-cita besar dakwah ini pada posisi penting dalam diri kita masing-masing  dan di dalam barisan dakwah kita. Bangun keseriusan dalam menggarap proyek dakwah, kita tidak boleh hanya bergelora pada ruang wacana, tetapi pada konsep, tekhnis dan bahkan eksekusi di lapangan harus kita lakukan. Karena begitulah syarat yang harus kita penuhi agar di tangan kita imperium kebenaran itu akan terbangun, atau paling tidak di tangan kita sebagian bangunan imperium kebenaran itu terbentuk dan dapat diselesaikan pada generasi-generasi hebat setelah kita. Ingatlah bahwa, ini adalah proyek dakwah yang tidak kecil dan sederhana. Sehingga sangat dibutuhkan konseptor-konseptor ulung dan eksekutor-eksekutor handal untuk menyelesaikannya. 

Wallahu a'lam


Load comments

Ads 970x90