Fetching data...

Friday, 1 May 2020

Buruh dan Negara Masabodoh

Setiap tahun hari buruh diperingati, tapi adakah yang peduli pada nasib buruh? saban hari mereka masih saja menjadi tumbal dari dunia kerja yang tak berbelas kasih. Bahkan negara ikut-ikutan menambah sial nasib mereka dengan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan akal sehat itu, memeras buruh dengan dalil investasi dan kemajuan ekonomi. Negara tampil sebagai pelayan kapitalis, sedangkan kapitalisme tidak pernah mau tahu pada nasib buruh.

Masih hangat dan terus menjadi polemik hingga detik ini; RUU CILAKA adalah salah satu bentuk nyata malangnya nasib masyarakat pekerja di Indonesia, dan menjadi fakta betapa negara tanpa malu-malu menggadaikan nasib buruh demi apa yang disebutnya sebagai investasi itu.

Negara tak ubahnya musuh bagi rakyat, padahal kehadirannya adalah hasil sebuah konsensus demi terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Rakyat seperti dibiarkan mengurus dirinya sendiri, sementara negara sibuk menjadi tukang sapu dan satpamnya kapitalis.

Tidak berbilang betapa banyak sudah teriakan dan tuntutan dari buruh agar keadilan ditegakkan pada mereka, dijamin kesejahteraan dan kemanusiaan mereka. Tapi tetap saja mereka tidak berdaya di hadapan negara yang terlanjur tidak berpihak kepada rakyat. Teriakan tinggal teriakan, tuntutan tinggal catatan-catatan yang berulang diucapkan setiap tahun dalam seremonial-seremonial 1 mei, tanpa ada kesadaran dari pemerintah untuk berbenah dan berpihak pada rakyat.

***
Seolah kita hidup di alam liar, sebab akhirnya rakyat harus memikirkan nasibnya sendiri, kesejahteraannya menjadi urusannya sendiri, kemiskinan dan ketertinggalan pendidikan adalah resiko yang harus ditanggungnya sendiri. Gagal dalam urusan ekonomi dituduh tidak punya skill, gagal dalam pendidikan dituduh lemah daya pikir, hidup demikian rimba dalam sebuah negara berpancasila.

Mirisnya, di tengah keadaan yang gelap gulita ini, ada milenial yang berpidato; "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". Kedengarannya bagus, tetapi itu justeru jalan menyenangkan para pembuat masalah. Sebab kita bukan saja harus menyalakan lilin, tetapi juga menyoal mengapa negara membuat kita dalam gelap gulita? Perlu ada evaluasi agar jangan lagi ada jatuh pada lubang yang sama kesekian kalinya.

Negara tidak boleh lepas tangan atas penderitaan rakyat. Hulu dari kemiskinan bukan karena rakyat malas bekerja atau tidak siap pada dunia kerja.  Demikian halnya kebodohan bukan karena rakyat malas sekolah atau daya tangkapnya lemah. Kesemua kesemrautan yang membuat nasib rakyat tidak menentu adalah persolan kolektif yang diciptakan oleh sistem yang lahir dari kebijakan pemerintah dan segala peraturan yang tidak memihak pada rakyat, maka negaralah yang wajib bertanggungjawab. Bukankah demikian perintah dalam UUD 1945?

***
Ada yang mengira, ditengah pandemi covid 19, kapitalisme akan runtuh sebagai akibat dari lumpuhnya industri-industri kapitalis, berhentinya roda ekonomi kapitalis sebab masyarakat pekerja sebagai tumbal akhirnya berhenti bekerja, swasta akan mandul lalu negara ambil alih. Nyatanya industri-industri kapitalis terus saja bekerja, roda terus berputar, dan lagi-lagi buruh/masyarakat pekerja jatuh dan masih pula tertimpa tangga.

Pemerintah lalu sibuk membuat kebijakan untuk memasang badan demi mulusnya hasrat kapitalis, nasib buruh tetap menjadi anak tiri, lagi-lagi ini demi investasi katanya. Hari ini telah ada satu juta lebih buruh yang di PHK dan dirumahkan, belum lagi para pengangguran yang menjadi semakin suram kesempatan mendapat kerja. Pemerintah punya solusi apa? Kartu pra kerja yang tidak nyambung itu? menyedihkan sekali.

Selamat hari buruh!

Load comments

Ads 970x90