Oleh: Sulaiman Tahir,
SH*
Pandemi covid 19 telah menimbulkan kepanikan global, bukan saja
negara-negara berkembang, negara-negara maju pun kewalahan menghadapi pandemi
covid 19. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang
memiliki presentase kematian yang cukup tinggi akibat covid 19. Angka kasus
terus bertambah seiring dengan penanganannya yang dirasa oleh berbagai kalangan
belum efektif dan efisien.
Pembatasan Sosial Beskala Besar (PSBB) yang diatur dalam Permenkes nomor
9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar, merupakan
kebijakan yang digunakan pemerintah dalam melawan pandemi covid 19, namun PSBB
justeru menimbulkan tanda tanya dan kritik dari berbagai kalangan, ada yang
menuding ini adalah langkah pemerintah untuk lari dari kewajibannya alih-alih
memaksa rakyat menaati aturan. Apalagi ada opsi Darurat Sipil (lihat Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 23 tahun 1959) yang rencananya akan
diterapkan pemerintah jika PSBB mendapatkan kendala dalam pelaksanaannya, opsi
ini juga mengundang reaksi cukup serius, sebab dianggap kurang tepat dan
seolah menimbulkan kepanikan baru bahwa rakyat akan melakukan kekacauan sosial.
(untuk persoalan ini akan saya ulas di tulisan yang berbeda).
Kaitannya dengan penanganan laju penyebaran covid 19, muncul polemik di
tengah masyarakat terkait boleh tidaknya membuka informasi pasien
covid 19 kepada publik sebagai langkah untuk memudahkan contact tracing, sebab
aturan perundang-undangan melarang membuka data pribadi setiap orang, termasuk
pasien covid 19. Banyak kalangan menilai bahwa pembukaan data pribadi pasien
justeru penting sebagai upaya
antisipasi dan pengendalian laju penyebaran covid 19.
Dasar Hukum Larangan
Pembukaan Informasi Pribadi Pasien
Pembukaan informasi pasien covid 19 menemui kendala, sebab dianggap
bertentangan dengan hak privasi/data pribadi pasien yang tertuang dalam rekam
medis yang dilindungi oleh undang-undang. Rekam medis sendiri adalah berkas
yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
termasuk dalam bentuk elektronik (lihat Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU No 29
tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, lihat Permenkes No 269 tahun 2008
tentang Rekam Medis, lihat juga Permenkes No 36 tahun 2012 tentang Rahasia
Kedokteran).
Ada banyak undang-undang yang mengatur tentang perlindungan data
pribadi, ini sesuai dengan amanat pasal 28G UUD 1945. Namun perlindungan data
pribadi dalam sektor kesehatan setidaknya dapat ditemukan dalam UU No 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit, UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU No 36 tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No 35 tahun 2009 tentang NARKOTIKA. Di
dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia juga datur, bahwa setiap dokter wajib
merasahasiakan segala sesuatau yang diketahuinya tentang seoranng pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia (lihat pasal 16).
Perlindungan data pribadi pasien yang diatur pada pasal-pasal dalam UU
di atas, diantaranya misalnya pada pasal Pasal 47 ayat (2) UU Praktek
Kedokteran, dalam pasal ini ditegaskan bahwa dokumen rekam medis pasien wajib
disimpan dan dijaga kerahasiaannya. Jika hak pribadi pasien tersebut dilanggar,
dan pelakunya adalah dokter atau dokter gigi dengan sengaja, maka dapat
dipidana dengan pidana denda paling banyak lima puluh juta rupiah
berdasarkan pasal 79 huruf b dan c UU Praktek Kedokteran jo. Putusan MK No 4/PUU-V/2007.
Hal ini juga seperti yang diatur dalam pasal 32 UU Rumah Sakit, bahwa
pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya. Rumah Sakit diwajibkan menghormati dan melindungi
hak-hak pasien (kerahasiaan data pribadi), ini tertuang dalam pasal 29 ayat (1)
UU Rumah Sakit. Bahkan sanksi tegas dapat diberikan kepada pihak Rumah Sakit
jika melanggar pasal 29 ayat (1) tersebut, sanksi paling berat adalah
pencabutan izin rumah sakit, ini sebagaimana dalam lanjutan pasal 29 pada ayat
(2).
Selain UU dalam sektor kesehatan di atas, perlindungan data pribadi
pasien juga diatur dalam pasal 17 UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP). Pada pasal 17 ini diatur tentang informasi publik
yang dikecualikan, salah satunya adalah mengenai riwayat, kondisi dan
perawatan, pengobatan kesehatan fisik dan psikis seseorang, karena bila
dibuka dan diberikan untuk diakses publik, dapat mengungkapkan rahasia
pribadi pasien. Bagi yang melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi,
sebagaimana diatur dalam pasal 54 ayat (1) UU KIP, yakni dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Orang yang dimaksud dalam pasal 54 itu adalah orang perseorangan,
kelompok orang, badan hukum, atau Badan Publik. Badan Publik yang dimaksud
adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi
nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri (lihat pasal 1 ayat (3) dan ayat
(10) UU KIP).
Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga mengatur hak
informasi pribadi yang tidak boleh dibuka kepada public, yaitu pada pasal 26 ayat
(1) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dijelaskan bahwa setiap informasi
melalui media elektronik (bisa berupa WA, IG, FB, twitter, dll) yang menyangkut
data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang
bersangkutan. Data pribadi yang dimaksud adalah data perseorangan tertentu yang
disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya (lihat
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20 tahun 2016). Pada ayat (2)
dalam UU ini, orang yang dilanggar haknya sebagaimana pada ayat (1) dapat
mengajukan gugatan atas kerugian sesuai UU ITE.
Dasar Hukum Pembukaan
Informasi Pribadi Pasien
Jika merujuk pada dasar hukum larangan membukan informasi pribadi pasien
yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk membuka
informasi pribadi pasien sebagai langkah pencegahan dan pemutusan laju
penularan covid 19. Namun jika dikaji lagi dalam beberapa pasal dan peraturan
perundang-undangan yang ada, hal itu dapat saja dilakukan dalam kondisi yang
darurat dan demi kepentingan umum serta kebaikan yang jauh lebih besar.
Dalam pasal 154 ayat (1) dan 155 ayat (1) UU Kesehatan,
memerintahkan kepada pemerintah agar secara berkala menetapkan dan mengumumkan
jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam
waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber
penularan. Pada pasal 57 ayat (2) dalam UU yang sama juga disebutkan bahwa ketentuan
mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi seseorang menjadi
tidak berlaku jika salah satunya disebabkan oleh adanya perintang undang-undang
dan kepentingan masyarakat, tentu maksud dari kepentingan masyarakat di sini
adalah kesehatan masyarakat secara umum dan keselamatan publik.
Dalam UU Praktik Kedokteran pasal 48 menjelaskan bahwa rahasia
kedokteran (data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh
tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya termasuk yang
termuat dalam rekam medis) dapat dibuka salah satunya adalah sesuai dengan
permintaan peraturan perundang-undangan. Permenkes No 36 tahun 2012 tentang
Rahasia Kedokteran pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa kebolehan membuka rahasia
kedokteran sesuai dengan permintaan peraturan perundang-undangan salah satunya
adalah demi kepentingan umum dan tanpa harus meminta persetujuan pasien
sebagaimana dalam kondisi atau alasan yang lain. Kepentingan umum ini
dijelaskan dalam ayat (4) yang salah satunya karena adanya wabah penyakit
menular (huruf b) dan ancaman keselamatan orang lain secara individual atau
masyarakat (huruf e). Pada ayat (3) dalam pasal ini yang dikecualikan untuk
dibuka adalah identitas pasien. Namun pada ayat (5) dijelaskan bahwa dalam hal
pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b dan huruf e, identitas pasien dapat dibuka kepada institusi atau
pihak yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Rahasia Kedokteran ini hanya dapat digunakan secara
terbatas sesuai dengan kebutuhan yang ada, dalam hal ini adalah untuk melakukan
upaya pemetaan penyebaran covid 19 dan memutus laju penularannya demi kesehatan
dan keselamatan publik (lihat pasal 5 ayat (2)).
Dalam UU KIP pasal 10 ayat (1), dijelaskan bahwa badan publik wajib
menyampaikan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat
hidup orang banyak dan mengancam ketertiban umum. Pada ayat (2)
dalam pasal 10 ini, badan publik diwajibkan menyampaikan informasi tersebut
dengan cara-cara yang mudah dijangkau oleh masyarakkat dan dengan bahasa-bahasa
yang mudah dipahami. Pada pasal 2 ayat (4) memang mungkinkan untuk membuka data
pribadi pasien, jika dengan membuka data tersebut konsekuensi kemaslahatannya
jauh lebih besar dan dapat melindungi kepentingan yang lebih besar, dalam hal
ini adalah kesehatan dan keselamatan public akibat pandemi covid 19.
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Komisi Informasi No 1 tahun 2010 tentang
Standar Layanan Informasi Publik, menjelaskan bahwa yang dimaksud informasi
yang mengancam hajat hidup orang banyak meliputi informasi yang diantaranya
epidemi dan wabah, tentu saja covid 19 yang tingkatannya lebih tinggi yakni
pandemi, masuk dalam pengertian ini. Ayat selanjutnya (3) menjelaskan bahwa
sekurang-kurangnya informasi meliputi diantaranya potensi bahaya dan/atau
besaran dampak yang dapat ditimbulkan, pihak yang berpotensi terkena dampak dan
cara menghindari bahaya atau dampak yang ditimbulkan.
Pada pasal 26 ayat (1) UU ITE yang sudah dibahas sebelumnya, memang
melarang penyebaran informasi pribadi melalui media elektronik, namun di dalam
pasal tersebut dapat dipahami bahwa data pribadi seseorang, termasuk pasien
covid 19 dapat dibuka jika ada aturan perundang-undangan yang menentukan bahwa
dapat dibuka. Maka merujuk pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang
telah dibahas di atas yang mengecualikan larangan pembukaan informasi pribadi
demi kepentingan umum yang jauh lebih besar, maka hak atas rahasia pribadi
seseorang yang dilarang disebar melalui media elektronik menjadi tidak relevan
lagi.
Bagaimana
kesimpulannya?
Dalam situasi pandemi covid 19 yang laju penyebarannya sangat cepat,
massal dan sulit dikendalikan, tentu dibutuhkan langkah cepat, efektif dan
efisien untuk memutus segera rantai penyebarannya dan mengendalikan laju
penularan untuk mengurangi dampak yang jauh lebih besar, tidak hanya pada
kesehatan dan keselamatan publik, namun juga pada sektor ekonomi, sosial,
pendidikan dan lainnya.
Merujuk pada pasal-pasal dalam aturan perundang-undangan yang telah saya
paparkan di atas, dalam kondisi pandemi covid 19, pemerintah atau pihak-pihak
terkait diwajibkan untuk menyampaikan secara serta merta, langsung, transparan
dan menggunakan media serta bahasa komunikasi yang mudah dijangkau dan
dimengerti oleh masyarakat terkait segala sesuatu yang diperlukan untuk
mencegah, memutus rantai penyebaran dan menanggulangi dampak pandemi covid 19.
Hal-hal yang harus disampaikan adalah tentang bahaya covid 19, dampak
yang dapat ditimbulkan, laju penularan, media dan cara penularan,
wilayah-wilayah yang menjadi episentrum penyebaran, wilayah-wilayah yang
berpotensi mengalami penyebaran, kasus-kasus yang telah terdeteksi, strategi
yang digunakan dalam menghadapi pandemi, bentuk rekayasa sosial yang akan dan
harus dilakukan untuk menghentikan laju penyebaran virus. Termasuk juga terkait
riwayat perjalanan dan interaksi pasien covid 19 sebelum dan setelah mengalami
gejala, perkembangan perawatan pasien untuk mengetahui status inveksi covid 19
dan segala informasi pribadi pasien yang diperlukan untuk memudahkan langkah
antisipasi dan pemutusan rantai penyebaran. Sehingga pihak terkait tidak boleh
hanya mengumumkan angka-angka ODP, PDP, suspek, pasien positif dan pasien
negative.
Perlu diketahui, bahwa di dalam peraturan perundang-undangan, larangan
untuk membuka informasi pribadi seseorang, khususnya dalam hal ini adalah
rahasia pribadi pasien yang tertuang dalam rekam medis atau rahasia kedokteran
yang menyangkut pribadi pasien adalah dalam kondisi atau keadaan yang normal.
Namun dalam kondisi tertentu yang luar biasa, termasuk dalm situasi merebaknya
pandemi covid 19 dan itu menyangkut keselamatan publik dan kepentingan yang
jauh lebih besar, maka rahasia pribadi pasien dapat dibuka untuk digunakan
secara ketat, terbatas dan bertanggungjawab dalam upaya antisipasi dan
pemutusan laju penyebaran pandemi covid 19.
*Penulis adalah alumni
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumni Pendidikan Khusus
Profesi Advokat, kerjasama Perhimpunan Advokat Indonesia dan Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia