Fetching data...

Thursday, 9 April 2020

Analisis Hukum Pembukaan Informasi Pribadi Pasien Covid 19

Oleh: Sulaiman Tahir, SH*

Pandemi covid 19 telah menimbulkan kepanikan global, bukan saja negara-negara berkembang, negara-negara maju pun kewalahan menghadapi pandemi covid 19. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki presentase kematian yang cukup tinggi akibat covid 19. Angka kasus terus bertambah seiring dengan penanganannya yang dirasa oleh berbagai kalangan belum efektif dan efisien.

Pembatasan Sosial Beskala Besar (PSBB) yang diatur dalam Permenkes nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar, merupakan kebijakan yang digunakan pemerintah dalam melawan pandemi covid 19, namun PSBB justeru menimbulkan tanda tanya dan kritik dari berbagai kalangan, ada yang menuding ini adalah langkah pemerintah untuk lari dari kewajibannya alih-alih memaksa rakyat menaati aturan. Apalagi ada opsi Darurat Sipil (lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 23 tahun 1959) yang rencananya akan diterapkan pemerintah jika PSBB mendapatkan kendala dalam pelaksanaannya, opsi ini juga mengundang reaksi cukup serius,  sebab dianggap kurang tepat dan seolah menimbulkan kepanikan baru bahwa rakyat akan melakukan kekacauan sosial. (untuk persoalan ini akan saya ulas di tulisan yang berbeda).

Kaitannya dengan penanganan laju penyebaran covid 19, muncul polemik di tengah masyarakat terkait boleh tidaknya  membuka informasi pasien covid 19 kepada publik sebagai langkah untuk memudahkan contact tracing, sebab aturan perundang-undangan melarang membuka data pribadi setiap orang, termasuk pasien covid 19. Banyak kalangan menilai bahwa pembukaan data pribadi pasien justeru penting sebagai upaya antisipasi dan pengendalian laju penyebaran covid 19.

Dasar Hukum Larangan Pembukaan Informasi Pribadi Pasien

Pembukaan informasi pasien covid 19 menemui kendala, sebab dianggap bertentangan dengan hak privasi/data pribadi pasien yang tertuang dalam rekam medis yang dilindungi oleh undang-undang. Rekam medis sendiri adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien termasuk dalam bentuk elektronik (lihat Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, lihat Permenkes No 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis, lihat juga Permenkes No 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran).

Ada banyak undang-undang yang mengatur tentang perlindungan data pribadi, ini sesuai dengan amanat pasal 28G UUD 1945. Namun perlindungan data pribadi dalam sektor kesehatan setidaknya dapat ditemukan dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU No 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No 35 tahun 2009 tentang NARKOTIKA. Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia juga datur, bahwa setiap dokter wajib merasahasiakan segala sesuatau yang diketahuinya tentang seoranng pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia (lihat pasal 16).

Perlindungan data pribadi pasien yang diatur pada pasal-pasal dalam UU di atas, diantaranya misalnya pada pasal Pasal 47 ayat (2) UU Praktek Kedokteran, dalam pasal ini ditegaskan bahwa dokumen rekam medis pasien wajib disimpan dan dijaga kerahasiaannya. Jika hak pribadi pasien tersebut dilanggar, dan pelakunya adalah dokter atau dokter gigi dengan sengaja, maka dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak lima puluh juta rupiah berdasarkan pasal 79 huruf b dan c UU Praktek Kedokteran jo. Putusan MK No 4/PUU-V/2007.

Hal ini juga seperti yang diatur dalam pasal 32 UU Rumah Sakit, bahwa pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. Rumah Sakit diwajibkan menghormati dan melindungi hak-hak pasien (kerahasiaan data pribadi), ini tertuang dalam pasal 29 ayat (1) UU Rumah Sakit. Bahkan sanksi tegas dapat diberikan kepada pihak Rumah Sakit jika melanggar pasal 29 ayat (1) tersebut, sanksi paling berat adalah pencabutan izin rumah sakit, ini sebagaimana dalam lanjutan pasal 29 pada ayat (2).

Selain UU dalam sektor kesehatan di atas, perlindungan data pribadi pasien juga diatur dalam pasal 17 UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pada pasal 17 ini diatur tentang informasi publik yang dikecualikan, salah satunya adalah mengenai riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik dan psikis seseorang, karena bila dibuka dan diberikan untuk diakses publik, dapat mengungkapkan rahasia pribadi pasien. Bagi yang melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi, sebagaimana diatur dalam pasal 54 ayat (1) UU KIP, yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Orang yang dimaksud dalam pasal 54 itu adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau Badan Publik. Badan Publik yang dimaksud adalah  lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri (lihat pasal 1 ayat (3) dan ayat (10) UU KIP).

Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga mengatur hak informasi pribadi yang tidak boleh dibuka kepada public, yaitu pada pasal 26 ayat (1) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dijelaskan bahwa setiap informasi melalui media elektronik (bisa berupa WA, IG, FB, twitter, dll) yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Data pribadi yang dimaksud adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya (lihat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20 tahun 2016). Pada ayat (2) dalam UU ini, orang yang dilanggar haknya sebagaimana pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian sesuai UU ITE.

Dasar Hukum Pembukaan Informasi Pribadi Pasien

Jika merujuk pada dasar hukum larangan membukan informasi pribadi pasien yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk membuka informasi pribadi pasien sebagai langkah pencegahan dan pemutusan laju penularan covid 19. Namun jika dikaji lagi dalam beberapa pasal dan peraturan perundang-undangan yang ada, hal itu dapat saja dilakukan dalam kondisi yang darurat dan demi kepentingan umum serta kebaikan yang jauh lebih besar.

Dalam pasal 154 ayat (1)  dan 155 ayat (1) UU Kesehatan, memerintahkan kepada pemerintah agar secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. Pada pasal 57 ayat (2) dalam UU yang sama juga disebutkan bahwa ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi seseorang menjadi tidak berlaku jika salah satunya disebabkan oleh adanya perintang undang-undang dan kepentingan masyarakat, tentu maksud dari kepentingan masyarakat di sini adalah kesehatan masyarakat secara umum dan keselamatan publik.

Dalam UU Praktik Kedokteran pasal 48 menjelaskan bahwa rahasia kedokteran (data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya termasuk yang termuat dalam rekam medis) dapat dibuka salah satunya adalah sesuai dengan permintaan peraturan perundang-undangan. Permenkes No 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa kebolehan membuka rahasia kedokteran sesuai dengan permintaan peraturan perundang-undangan salah satunya adalah demi kepentingan umum dan tanpa harus meminta persetujuan pasien sebagaimana dalam kondisi atau alasan yang lain. Kepentingan umum ini dijelaskan dalam ayat (4) yang salah satunya karena adanya wabah penyakit menular (huruf b) dan ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat (huruf e). Pada ayat (3) dalam pasal ini yang dikecualikan untuk dibuka adalah identitas pasien. Namun pada ayat (5) dijelaskan bahwa dalam hal pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf e, identitas pasien dapat dibuka kepada institusi atau pihak yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Rahasia Kedokteran ini hanya dapat digunakan secara terbatas sesuai dengan kebutuhan yang ada, dalam hal ini adalah untuk melakukan upaya pemetaan penyebaran covid 19 dan memutus laju penularannya demi kesehatan dan keselamatan publik (lihat pasal 5 ayat (2)).

Dalam UU KIP pasal 10 ayat (1), dijelaskan bahwa badan publik wajib menyampaikan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan mengancam  ketertiban umum. Pada ayat (2) dalam pasal 10 ini, badan publik diwajibkan menyampaikan informasi tersebut dengan cara-cara yang mudah dijangkau oleh masyarakkat dan dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami. Pada pasal 2 ayat (4) memang mungkinkan untuk membuka data pribadi pasien, jika dengan membuka data tersebut konsekuensi kemaslahatannya jauh lebih besar dan dapat melindungi kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini adalah kesehatan dan keselamatan public akibat pandemi covid 19.

Pasal 12 ayat (2) Peraturan Komisi Informasi No 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, menjelaskan bahwa yang dimaksud informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak meliputi informasi yang diantaranya epidemi dan wabah, tentu saja covid 19 yang tingkatannya lebih tinggi yakni pandemi, masuk dalam pengertian ini. Ayat selanjutnya (3) menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya informasi meliputi diantaranya potensi bahaya dan/atau besaran dampak yang dapat ditimbulkan, pihak yang berpotensi terkena dampak dan cara menghindari bahaya atau dampak yang ditimbulkan.

Pada pasal 26 ayat (1) UU ITE yang sudah dibahas sebelumnya, memang melarang penyebaran informasi pribadi melalui media elektronik, namun di dalam pasal tersebut dapat dipahami bahwa data pribadi seseorang, termasuk pasien covid 19 dapat dibuka jika ada aturan perundang-undangan yang menentukan bahwa dapat dibuka. Maka merujuk pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang telah dibahas di atas yang mengecualikan larangan pembukaan informasi pribadi demi kepentingan umum yang jauh lebih besar, maka hak atas rahasia pribadi seseorang yang dilarang disebar melalui media elektronik menjadi tidak relevan lagi.

Bagaimana kesimpulannya?

Dalam situasi pandemi covid 19 yang laju penyebarannya sangat cepat, massal dan sulit dikendalikan, tentu dibutuhkan langkah cepat, efektif dan efisien untuk memutus segera rantai penyebarannya dan mengendalikan laju penularan untuk mengurangi dampak yang jauh lebih besar, tidak hanya pada kesehatan dan keselamatan publik, namun juga pada sektor ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya.

Merujuk pada pasal-pasal dalam aturan perundang-undangan yang telah saya paparkan di atas, dalam kondisi pandemi covid 19, pemerintah atau pihak-pihak terkait diwajibkan untuk menyampaikan secara serta merta, langsung, transparan dan menggunakan media serta bahasa komunikasi yang mudah dijangkau dan dimengerti oleh masyarakat terkait segala sesuatu yang diperlukan untuk mencegah, memutus rantai penyebaran dan menanggulangi dampak pandemi covid 19.

Hal-hal yang harus disampaikan adalah tentang bahaya covid 19, dampak yang dapat ditimbulkan, laju penularan, media dan cara penularan, wilayah-wilayah yang menjadi episentrum penyebaran, wilayah-wilayah yang berpotensi mengalami penyebaran, kasus-kasus yang telah terdeteksi, strategi yang digunakan dalam menghadapi pandemi, bentuk rekayasa sosial yang akan dan harus dilakukan untuk menghentikan laju penyebaran virus. Termasuk juga terkait riwayat perjalanan dan interaksi pasien covid 19 sebelum dan setelah mengalami gejala, perkembangan perawatan pasien untuk mengetahui status inveksi covid 19 dan segala informasi pribadi pasien yang diperlukan untuk memudahkan langkah antisipasi dan pemutusan rantai penyebaran. Sehingga pihak terkait tidak boleh hanya mengumumkan angka-angka ODP, PDP, suspek, pasien positif dan pasien negative.

Perlu diketahui, bahwa di dalam peraturan perundang-undangan, larangan untuk membuka informasi pribadi seseorang, khususnya dalam hal ini adalah rahasia pribadi pasien yang tertuang dalam rekam medis atau rahasia kedokteran yang menyangkut pribadi pasien adalah dalam kondisi atau keadaan yang normal. Namun dalam kondisi tertentu yang luar biasa, termasuk dalm situasi merebaknya pandemi covid 19 dan itu menyangkut keselamatan publik dan kepentingan yang jauh lebih besar, maka rahasia pribadi pasien dapat dibuka untuk digunakan secara ketat, terbatas dan bertanggungjawab dalam upaya antisipasi dan pemutusan laju penyebaran pandemi covid 19.

*Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat, kerjasama Perhimpunan Advokat Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia


Load comments

Ads 970x90