Nikah adalah merupakan suatu hal yang sakral dalam islam, karna dalam islam di yakini bahwa menikah adalah merupakan menyempurnakan separuh dari iman. Sehingga memang benar-benar rukun dan syaratnya telah di atur dalam hukum islam.
Ada hal yang sering menjadi perbincangan terkait pernikahan ini, yaitu nikah sirri. Bagaimana tidak, nikah sirri telah begitu marak terjadi di masyarakat. Tidak hanya masyarakat kecil, banyak para pejabat atau bisa dikatakan public fIgur yang bahkan mempraktekan nikah sirri ini. Ini tentu menjadi hal yang ironis sekali, apalagi jika kita melihat perempuan sebagai pihak yang paling merasakan efek dari nikah sirri ini.
Inilah yang kemudian saya kira sangat urgen untuk di bahas, bagaimana pengaruh nikah siri bagi wanita.
PEMBAHASAN
A. Pengertian nikah siri
Sebelum kita membahas masalah nikah siri, terlebih dahulu kami memaparkan sedikit terkait nikah itu, karna walau bagaimanapun nikah siri itu terdiri dari dua kata, nikah dan siri. Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam al-Qur’an, kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Sedangkan Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Terkadang nikah sirri diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun memang kedua istilah itu (misyar dan ‘urfi) jarang di gunakan, karna memang artinya sama yaitu nikah yang tidak di umumkan dan juga tidak di laporkan kepada pejabat pencatatan nikah yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
B. Faktor terjadinya nikah siri
Memang nikah sirri merupakan fenomena yang sering terjadi di masyarakat, sebagai contoh, sebuah LSM Pemberdayaan perempuan pasuruan pernah melansir bahwa pada tahun 2011 ada 2029 pasangan suami istri di kecamatan rembang yang status pernikahannya adalah nikah sirri, atau tidak tercatat di kantor urusan agama. Tentu ada faktor-faktor yang kemudian menyebabkan hal itu terjadi, bisa karna faktor ekonomi, sosiologis ataupun faktor psikologis.
Jika kita melihatnya dari faktor ekonomi, seperti kasus yang terjadi di kecamatan rembang, biaya menjadi salah satu sebab nikah sirri menjadi jalan keluar ketika hendak membangun rumah tangga. Karna tidak mampu membayar biaya administrasi pencatatan. Kemudian jika kita melihat dari faktor sosiologis atau budaya, ada sebagian masyarakat yang memang telah menganggap bahwa nikah sirri itu adalah hal yang sudah biasa, sehingga bukan lagi hal yang tabu ketika mempraktekannya. Mereka kadang beralasan bahwa nikah itu jika telah terpenuhi rukun dan syaratnya, atau telah sah menurut agama yang mereka fahami, maka itu sudah cukup. Adapun faktor psikologis, yaitu para pegawai negeri yang berkeinginan untuk berpoligami namun takut ketahuan melanggar aturan sehingga menjadikan nikah sirri sebagai jalan keluar keingginannya untuk berpoligami.
Mungkin ini hanya beberapa faktor dari sekian faktor yang ada, bisa saja pernikahan sirri itu terjadi karna ada pertimbangan-pertimbangan tertentu lainnya; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
C. Efek nikah sirri bagi wanita
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
Perkawinan sirri berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum:
- istri siri tidak dianggap sebagai istri sah;
- istri siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia;
- istri siri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;
Secara sosial:
istri siri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan siri sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
D. Pandangan islam terhadap nikah sirri
Sebenarnya dalam pandangan islam, selama pernikahan itu telah terpenuhi rukun dan syaratnya maka pernikahan itu sah menurut syara’. Memang mengenai nikah sirri ini, secara tegas tidak di bahas dalam al-Qur’an maupun sunnah. Namun hal ini tidak kemudian kita melegalkan nikah sirri, sebab jika kita melihat banyak tidaknya mudharat yang di timbulkan akibat nikah sirri ini, maka secara tegas kami katakan –sebagaimana yang telah kami bahas pada sub bab sebelumnya- bahwa mudharat dari nikah sirri jauh lebih besar. Sehingga sebagai mana semangat dalam hukum Islam kita, yakni memilih sesuatu yang akan mendatangkan maslahat lebih banyak dan meninggalkan sesuatu yang mendatangkan mudharat yang besar. Sehingga dengan logika seperti ini, tentu Islam tidak membenarkan nikah sirri itu.
Kita dapat melihat bukti lain di dalam al-Qur’an, yakni jika kita melihat ayat yang membahas tentang pentingnya mencatat hal-hal yang menyangkut mu’amalah, yaitu Firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dari ayat al-qur'an diatas, bahwa setiap trnsaksi/akad utang piutang dalam muamalah harus dicatat. Sesuai dengan firman Allah SWT diatas. Sedangkan, akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Jelas halnya apabila akad hutang piutang dalam muamalah dicatat, mestinya akad nikah yang begitu agung dan mulianya lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Menurut keputusan majelis tarjih Muhammadiyah, para ‘ulama Muhammadiyyah pada hari jumat tanggal 25 mei 2007 M melakukan sidang tarjih, yang memutuskan bahwa seiring dengan maraknya pernikahan sirri yang terjadi di lingkungan masyarakat pada waktu itu, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa nikah sirri tanpa dicatat di kantor urusan agama atau catetan sipil tidak sah.\
Atas dasar pertimbangan itu, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah "mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.
tangan.
E. Pandangan nikah sirri dalam hukum positif Indonesia
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan.
Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
1. Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
1. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
2. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Jadi memang secara tegas UU kita tidak mewajibkan pencatatan itu.
F. Analisis gender terhadap nikah sirri
Terlepas dari kaitannya dengan masalah hukum, nikah siri juga sarat akan diskriminasi dan ketidakadilan gender pada perempuan. Diskriminasi gender ini bisa terjadi baik secara langsung, maupun tak langsung, seperti melalui aturan, atau kebijakan diskriminatif terhadap jenis kelamin tertentu. Atau diskriminasi sistemik, karena sudah mengakar dalam sejarah, adat, norma, dan struktur masyarakat yang mewariskan keadaan diskriminatif.
Menurut Masdar Mas’udi, dalam buku Islam dan Hak Reproduksi Perempuan, ketidakadilan dan diskriminasi gender berawal dari pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan. Karena stereotip tersebut, perempuan sering dimanfaatkan laki-laki. Antara lain, perlakuan seksual yang menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Nikah sirri merupakan bentuk “penjajahan seks” untuk menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.
Ini menunjukkan bahwa betapa perempuan adalah korban dari nikah sirri, dan ini tentunya sangat mendiskriminasi waniata. Laki-laki dengan menggunakan nikah sirri menjadikan perempuan seolah sebagai orang yang ada harganya, ini terbukti dengan dengan tidak adanya pengakuan negara terhadap wanita yang nikah sirri, dan anak yang di hasilkan dari nikah sirri tidak dapat mengikuti nasan ayahnya. semua terbebankan pada wanita.
kesetaraan jender mesti diperhatikan dalam hal ini, agar wanita tak lagi menjadi tumbal dari nikah sirri yang hanya menguntungkan laki-laki. Maka negara mesti membuata aturan yang jelas terkait nikah sirri ini, sebab dengan tidak adanya aturan yang tegas dari negara maupun agama, maka keseimbangan antara posisi laki-laki dan wanita itu selamanya tak akan pernah ada. Dan tentunya ini sangat berdampak pada wanita, sebab dia merupaka korban dari praktek nikah sirri.
KESIMPULAN
Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.
Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda :
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Dalam hal ini, Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan.
Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Thalib, M, 1987, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Surabaya : Al-Ikhlas
Nasution, Khoiruddin, 2002, Fazlurrahman Tentang Wanita, Yogyakarta : Tazzafa
Rusyid, Ibnu, 2007,Bidayatul Mujtahid (Terj.) Jilid II, Jakarta : Pustaka Amani
Munawar,budi,1996,Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat modern, Yogyakarta : Budi Abadi.
HAMKA,1983,Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Panjimas