Virus Corona menyebar dan menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat, muncul beragam spekulasi dan tanggapan. Khususnya dari kalangan umat Islam tentang bagaimana menyikapi virus Corona atau yang diberi nama Covid 19. Dari sekian tanggapan, ada dua kalangan yang saya soroti yang kemudian saya sebut sebagai dua kutub ekstrim. Pertama adalah sikap yang melihat dan menyikapi fenomena Covid 19 murni hanya dari kacamata sains dan mengabaikan pesan-pesan keimanan, sehingga cenderung mendudukkan sains sebagai ujung tombak segalanya. Kedua adalah sikap yang melihat dan menyikapi fenomena ini sebagai suatu yang murni adalah “kerjaan” Allah, sehingga cara menghadapinya adalah dengan mendekat dan memperbanyak ibadah kepada Allah, sains pada kalangan yang kedua ini menjadi tidak begitu relevan dalam menghadapi Covid 19.
Dua bentuk sikap di atas menjadi ekstrim, karena kelompok pertama akhirnya cenderung mengabaikan pesan-pesan keilahian, sehingga terlihat seolah menyombongkan diri dengan mengagungkan sains di hadapan Allah. Sementara kelompok kedua terlihat seolah anti sains dan cenderung tidak menghiraukan hukum alam (sunnatullah), terlebih terlihat seperti cuek dan pasrah dan menjadikan dalil keimanan sebagai pembenaran. Lalu bagaimana seharusnya? Untuk menjawab ini, saya kira penting kita mengingat kembali perihal “ketetapan Allah” yang djelaskan di dalam agama.
Dalam Islam kita mengenal Istilah Qadha’ dan Qadar, atau dalam bahasa keseharian, kita menyebutnya dengan takdir atau nasib (dalam KBBI Takdir dan nasib adalah similar, atau memiliki arti yang sama, yakni ketetapan Tuhan). Walau sebenarnya baik takdir maupun nasib adalah sama-sama kata serapan yang diambil dari bahasa Arab. Takdir berasal dari kata qaddara – yuqaddiru yang bisa berarti ketetapan, Sementara itu, nasib diserap dari kata nashib, yang artinya bagian sesuatu yang telah ditentukan.
Di kalangan ulama’ Islam, qadha’ dan qadar memiliki definisi yang tidak seragam. Masyhur kita kenal dari kalangan ahlussunnah wal jama’ah (Asy’ariyah), qada’ adalah ketetapan yang telah Allah tetapkan untuk seluruh makhluk-Nya sejak zaman azali. Maka sesungguhnya apapun yang terjadi pada kehidupan manusia, berkaitan dengan baik dan buruk, untung dan rugi, sakit dan sembuh, hidup dan mati, dan lain sebagainya adalah perwujudan atau realisasi dari apa yang telah Allah tetapkan di zaman azali. Adapun bentuk dari perwujudan qadha’ sesuai dengan yang Allah kehendaki, itulah yang disebut dengan qadar.
Qadha’ dan qadar adalah sesuatu yang sifatnya ghaib dan tidak berarti manusia pasrah saja tanpa ada ikhtiar sama sekali. Jika sakit, bukan berarti si penderita menerima dengan pasrah lalu tidak berikhtiar untuk sembuh, atau jika lapar maka jangan menunggu makanan jatuh dari langit, tetapi berusaha untuk dapat menghasilkan makanan. Mendudukkan perihal ketetapan Allah ini atau yang dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya takdir, ulama membaginya menjadi dua; yakni takdir mubram/mutlak dan takdir mu'allaq/ikhtiar. Takdir mubram adalah ketetapan Allah yang sudah tidak dapat lagi diganggu-gugat, sudah tetap dan pasti. Misalnya setiap yang bernyawa pasti akan mati, setiap orang ada rezekinya masing-masing, perempuan lah yang dapat melahirkan, seorang anak tidak dapat memilih lahir dari orang tua yang mana, dan seterusnnya. Sebagian kalangan malah menjelaskan bahwa takdir yang mubram terkait pada tiga hal; ajal, rezeki dan jodoh.
Allah berfirman: “Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu), apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun.” (QS. al-A’raf: 34). Dalam sebuah hadis, Nabi juga pernah bersabda: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang dari kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (sperma), kemudian berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi mudhghah (sepotong daging) selam empat puluh hari, kemudian malaikat dikirim kepadanya kemudian malaikat tersebut meniupkan ruh padanya, dan malaikat tersebut diperintahkan empat hal, menuliskan rizkinya, menuliskan ajalnya, menuliskan amal perbuatannya ia celaka, atau bahagia….” (H.R. Muslim).
Sedangkan takdir mu’allaq adalah ketetapan Allah yang melibatkan ikhtiar manusia. Misal jika seseorang ingin ahli dalam bidang kimia, maka dia harus belajar kimia, jika ingin sembuh dari sakit maka harus megobati dirinya, jika ingin terhindar dari bahaya maka sebisa mungkin menghidari sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, seseorang ingin menikah/menemukan jodohnya maka dia harus memilih dan menjemputnya dan seterusnya. Allah berfirman: “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. ar-Rad: 11).
Kaitannya dengan Covid 19, kita harus mengakuinya sebagai hasil dari kelalaian manusia, sehingga menimbulkan kekacauan di berbagai tempat dan kerugian materil dan imateril yang tidak sedikit. Kelalaian ini mungkin karena keserakahan atau ambisi manusia yang ingin mengembangkan suatu rekayasa biologi untuk suatu tujuan tertentu, atau sebagai akibat dari pola hidup manusia yang ekstrim, misalnya mengkonsumsi makanan-makanan yang tidak selazimnya. (lihat QS. ar-Rum: 41). Tapi tentu saja kita juga harus mengimani, bahwa tidak ada satupun musibah, penyakit, kesusahan, kesengsaraan dan segala hal yang merugikan manusia yang tidak dalam izin Allah. Artinya Allah lah yang berkuasa menghendaki kejadian atau peristiwa segala sesuatu. (Lihat QS. at-Taghabun: 11).
Lalu bagaimana cara menyikapi dan menghadapi Covid 19?
Pertama, harus diingat virus ini jangan dilihat dan disikapi dengan ilmu kira-kira, jangan pula melihatnya pada kacamata agama semata secara sempit. Tetapi harus dilihat secara ilmiah dan dari berbagai aspek untuk memberikan maslahat lebih besar. Maka jangan lagi ada yang mengatakan, cukup dengan menjaga wudhu, berdzikir dan mendirikan shalat, agar terhindar dari inveksi virus Corona.
Bukankah umumnya tidak mungkin menghilangkan lapar dengan shalat? Atau menyembuhkan luka dengan dzikir? Atau membangun rumah dengan tilawah? Bukankah Rasulullah pernah menegur seseorang yang hendak bertawakal kepada Allah atas keamanan untanya saat dia hendak meninggalkan untanya tanpa diikat terlebih dahulu? Atau kisah umar yang marah dan memerintahkan untuk mencambuk dan memotong tangan seorang pencuri yang mengklaim perbuatannya adalah takdir dari Allah? Bukankah tawakkal atau berpasrah diri pada keputusan Allah adalah setelah ikhtiar dilakukan? Maka saya kira berikhtiar dengan melakukan hal-hal yang dapat membuat kita mampu melawan Covid 19 adalah penting, misalnya menjaga pola hidup yang sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, melakukan social distancing (menghindari perkumpulan, mengurangi dan membatasi interaksi sosial). Bahkan bila perlu meniadakan shalat berjamaah di masjid saat keadaan genting, termasuk juga meniadakan shalat jum’at.
Bukankah meninggalkan shalat berjamaah di Masjid adalah kekeliruan dan bukankan meninggalkan shalat jumat bahkan hingga 3 kali dapat dikategorikan munafik? Iya itu benar, tapi bukankah di dalam Islam ada ruksyah (keringanan) karena ada suatu hal yang memberatkan sebagai suatu pengecualian bagi hukum pokok tanpa menggugurkan hukum aslinya? Bukankah ada kaidah “Dar’ul Mafasidi Awla Min Jalbil-Masholih” (Menghilangkan kemadharatan lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan)? Bukankah hukum dapat berubah dalam kondisi tertentu? Dalam hukum Islam kita mengenal kaidah “taghayyirul ahkam bitaghayyirul azminah, wal amkinah, wal ahwal, wa an-niat” (hukum dapat berubah karena berubahnya tempat, waktu, keadaan dan motivasi). Lihat betapa megah Islam ini, mengapa harus dibuat jadi kumuh dengan cara beragama yang sempit?
Kita tahu bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai sunatullah, yakni mekanisme yang Allah tetapkan untuk mengatur segala sesuatu atau yang kita sebut hukum alam. Shalat adalah wajib, dzikir juga penting tentu saja, tapi dua hal itu tidak cukup tanpa dibarengi dengan langkah-langkah lain yang tepat agar terhindar dari virus, misalnya jaga kesehatan, mengendalikan emosi dan melakukan social distancing, itulah sunatullah. Ada kaidah yang mengatakan "wasaailul umuuri kalmaqashid" (hukum perantara sama dengan hukum tujuan). Atau kaidah "maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun" (suatu perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu menjadi kewajiban". Menjaga keselamatan jiwa dari wabah yang dapat memberikan mudharat yang besar (seperti Covid 19) adalah kewajiban, maka wasilah atau perantara yang harus dilakukan untuk melindungi dari wabah yang berbahaya tersebut, tentu juga menjadi wajib hukumnya.
Dalam keadaan darurat saat pandemi Covid 19 telah menyerang suatu wilayah, jangan mengatakan bahwa mereka yang tidak mendirikan shalat berjamaah di masjid –termasuk juga yang meniadakan shalat jum’at- karena takut terinveksi Covid 19 adalah orang yang kurang imannya, mereka lebih takut Corona daripada Allah. Ini pikiran yang sempit. Jika anda terinveksi, bisa jadi anda akan menginveksi orang-orang terdekat anda, atau orang yang berinteraksi dengan anda, atau orang yang kebetulan berada dekat dengan anda. Kita bukan saja harus menjaga diri agar tidak terinveksi Corona, tetapi agar tidak menjadi sebab terinveksinya orang lain. Karena keegoisan, bukan saja diri sendiri, tetapi orang lain pun akhirnya menanggung akibatnya, bukankah itu zalim? Allah tentu tidak suka kepada yang zalim. Jangan putus asa dan pasrah tanpa usaha menghadapi virus, inilah yang disebut takdir yang mu’allaq, maka ikhtiarkan sebaik-baiknya dan berserah pada Allah.
Kedua, jangan lupa peran keilahian dalam setiap musibah yang kita alami, termasuk pandemic Covid 19 ini. Jangan mengira sainslah yang dapat menghilangkan virus Corona. Ingatkah kisah Musa? Nabi yang mulia itu mengira bahwa dengan memamah rumput adalah mujarab untuk mengobati sakit perutnya sebagaimana dahulu saat pernah sembuh sakitnya saat memamah rerumputan atas petunjuk Allah, namun ternnyata perutnya kian sakit, lalu Allah menegurnya, bahwa yang membuatnya sembuh bukan rerumputan itu, tetapi Allah lah yang menyembuhkannya dahulu. Bukankah Allah juga mengingatkan, bahwa yang membuat kita dapat terlepas dari kesulitan, kesengsaraan dan rasa takut adalah Allah? Saat kita beriman kepada-Nya dan beramal salih (lihat QS. an-Nur: 51). Lagi pula segala yang logis yang kita lakukan, sebagai bentuk perlawanan pada virus yang kita klaim sebagai sains hasil temuan manusia itu adalah sunatullah semata, dan sunnatullah tidak pernah berubah, yakni hukum-hukum yang berlaku di alam semesta, dinamika energi, proses bilogis, materi, ruang, waktu, dst (Lihat QS. al-Fath: 23).
Bukankah kita tidak ada apa-apanya dihadapan Allah? DIA maha mengusai segala sesuatu, ilmu-Nya melebihi segala sesuatu (lihat QS. at-Thalaq: 12), tidak ada yang dapat menandingi dan menyamai-Nya; “laisa kamitslihi syai’un”. Terciptanya virus Corona juga melalui proses-proses yang diizinkan Allah, jika tidak Allah izinkan tentu tidak akan terjadi, termasuk juga kerusakan yang ditimbulkan, itu juga atas izin Allah (lihat QS. at-Taghabun: 11). Lalu mengapa kita mengira sainslah yang dapat menolong? Sains adalah hasil penelitian manusia dengan memaksimalkan fungsi akalnya, sementara akal kita terbatas dan itu ciptaan Allah. Lantas mengapa kita merasa lebih hebat dari Allah? Bukankah itu sombong? Dan sombong adalah sifat yang membuat iblis didepak dari syurga.
Steven Thorpe, adalah seorang pemuda yang vonis telah mati otak setelah koma akibat kecelakaan mobil pada 2008. Mati otak adalah ketika tidak ada lagi aktivitas saraf pada otak ataupun batang otaknya. Artinya, tidak ada lagi impuls saraf yang dikirimkan antara sel-sel otak. Pemuda ini dinyatakan tidak tertolong, teknolog medis menyerah, tapi yang terjadi justru mencengangkan, pemuda ini benar-benar pulih dan “hidup kembali”. Betapa sains tidak berdaya di sini. Ada banyak deretan fakta lain, yang mengajarkan bahwa kekuasaan Allah ada di atas segalanya.
Covid 19 adalah pandemic, artinya wabah ini telah menyebar dengan cepat dalam skala geografis yang sangat luas dan sulit dikendalikan, persoalan paling mendasar sehingga patut diantisipasi adalah kemampuan penularannya yang sangat tinggi dan cepat, terjadi secara bersamaan dan dalam jumlah korban terinveksi yang banyak. Saat ini, per 19 maret 2020, telah ada 309 kasus di Indonesia, dengan jumlah kematian sebanyak 25 orang, sembuh 15 orang, persentase kematian ini menjadi salah satu yang tertinggi di Asia tenggara khususnya.
Lakukanlah pencegahan agar tidak terinveksi, tentu dengan melihat pandemic ini secara ilmiah dan jangan pernah lupa memohon perlindungan kepada Allah. Setiap kita memang pasti sakit, pasti mati, segalanya sudah Allah ketahui dan tentukan di zaman azali, itulah takdir mubram Allah (qadha'). Tapi dalam keadaan apa kita mati, seberapa besar kontribusi kita dalam melawan covid 19, seberapa bermanfaat kita kepada sesama adalah takdir mu’allaq yang dapat kita ikhtiarkan sebaik-baiknya. Jangan sedikit-sedikit berkata, “Allah sudah takdirkan saya terinveksi corona atau tidak, jadi saya pasrah saja, tidak perlu membuat antisipasi” ini adalah sikap yang salah, kita sendiri yang memilih apa yang baik dan apa yang buruk untuk diri kita, itu akan kita pertanggungjawabkan kelak. (Lihat QS. al-Mudatsir: 37 -38).
Corona adalah makhluk Allah, virus itu menyebar adalah atas izin Allah. Jangan takut pada Corona, tapi tetaplah waspada, jaga diri sendiri, orang-orag terdekat dan sesama warga masyarakat. Kita tidak tahu apakah kita akan jadi korban berikutnya, atau kita akan selamat hingga pandemi ini berakhir. Tugas kita adalah berikhtiar sebaik-baiknya, dan pasrah pada-Nya.
Al-faqir
Sulaiman Tahir
(Alumni PP Nurul Ummah ’12)
Yogyakarta, 19 Maret 2020