Fetching data...

Monday, 6 February 2017

Wakaf Tunai



Oleh: Sulaiman Tahir

Dewasa ini masalah kehidupan manusia kian kompleks, hal ini dibarengi dengan kebutuhan hidup manusia yang juga semakin hari kian bertambah dan sangat kompleks. Islam sebagai agama yang 
shalihun fi kulli makaanin wa zamaanin, harus berhadapan dengan tuntutan zaman ini. Islam selalu menjadi agama nun mulia yang sanggup menjawab semua itu.

Sebagai agama yang membawa ajaran beserta aturan/hukum yang paripurna, Islam tentu sangat dinamis dalam aspek hukum yang dibawanya. Hal-hal yang menjadi komponen dari objek hukum terkadang terus berkembang atau bahkan justeru berkurang.

Salah satu ajaran yang memuat hukum yang ikut berkembang sesuai tuntutan zaman adalah dalam masalah wakaf. Wakaf yang pada umumnya dipraktekkan adalah zakat berupa benda-benda yang tsabit (tetap), entah itu barang yang tidak bisa dipindahkan (manqul) atau yang bisa dipindahkan (ghairu manqul). Namun yang menjadi perdebatan adalah pada persoalan hukum wakaf atas benda yag dapat dipindah-pindahkan. Seperti misalnya wakaf uang, atau yang dalam bahasa fikihnya versi Indonesia adalah wakaf tunai. Masih ada perdebatan tentang status hukumnya, ada yang membolehkan namun ada juga tidak membolehkan.

Kami rasa hal ini sangat menarik untuk kita kaji dan didiskusikan bersama, semoga dapat menjadi tambahan wacana dan juga bahan diskusi bersama.

Rumusan masalah

Untuk mempermudah pembahasan pada makalah ini,  kami membuat beberapa rumusan masalah, yang kesemuanya kami buat dalam bentuk pertanyan. Yaitu sebagai berikut:

1.      Apa yang dimaksud dengan wakaf tunai?
2.      Apa dasar hukum dari wakaf tunai?
3.      Mengapa wakaf tunai dapat dibenarkan secara hukum?

Landasan teori

Wakaf secara bahasa berasal dari ata waqafa yang berarti berhenti. Sedangkan menurut istilah wakaf adalah menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Maka harta yang sudah diwakafkan sudah bukan menjadi hak milik si pewakaf dan juga bukan menjadi hak milik nadzir. Tetapi menjadi hak milik Allah.

Menurut UU no. 41 tahun 2014 tentag wakaf menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya untuk keperluan iabadah dan/atau untuk kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Wakaf tunai adalah wakaf yang diberikan oleh seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Pengkategorian wakaf ini tergantung pada bagaimana tujuan awal wakif memberika dana tersebut, batasan yang diinginkan, serta penggunaannya oleh nadzir.

Definisi terbaru dari wakaf tunai menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 2009, tentang administrasi Pendaftaran Wakaf UANG, PASAL 1 ANGKA (1) . Wakaf uang dalam PMA ini diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahklan atau menyerahkan sebagian uang miliknya untuk diambil manfaatnya selamanya atau dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan sesuai dengan kepentingannya guna untuk ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Analisis masalah

Jika kita melihat dari berbagai macam pandangan ulama’ terkait wakaf, semua ulama’ sepakat dengan wakaf dengan bil manqul atau benda tidak bergerak. Namun kemudian para ulama’ berbeda pendapat pada masalah hukum daari wakaf dengan ghairu manqul. Perbedaan ini didasarkan pada pemahaman terhadap pengertian asal dari wakaf itu sendiri. Wakaf pada prinsipnya adalah pada masalah pembayarannya , pokok wakaf harus tetap kekal, sedangkan yang diberikan adalah manfaatnya. Sehingga manfaat wakaf tetap ada selama pokoknya masih ada.

            Dalam hal wakaf uang atau wakaf tunai, tentu yang menjadi permasalahan adalah uang bukanlah alat yang dibuat untuk menjadi objek yang dapat disewakan untuk diambil manfaatnya, tetapi uang dibuat hanya sebagai alat tukar dalam proses jual beli. Uang zatnya bisa habis dengan sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dan dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf adalah harta yang tetap. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan masih ada seperti semual, terpelihara dan dapat menghasilkan keuntungan lagi dalam waktu lama?. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan bahwa wakaf tunai atau cash wakaf atau wakaf uang itu sedikit berat untuk ditetaokan kebolehannya secara hukum. Jika kita melihat dari dasar hukumnya pun, zakat biasa dan zakat tunai sama-sama merujuk pada dasar hukum yang sama dalam al-Qur’an dan juga hadis, namun kemudian yang menjadi permasalahannya adalah pada proses aplikasi wakaf itu di masyarakat.

Wakaf tunai telah dipraktekkan di masa dinasti Ayyubiyah di mesir dan menurut Wahbah az Zuhaili, mazhab Hanafi pun membolehkan wakaf tunai sebagai sebuah pengecualian. Wahbah az Zuhaili juga mengatakan bahwa mahab Maliki juga membolehkan wakaf makanan, uang dan benda tidak bergerak lainnya. Wahbah az Zuhaili menganalogikan wakaf tunai dengan wakaf baju perang dan binatang, sebab memiliki kesamaan illat.
           
Pengertian wakaf tunai

Berdasarkan fatwa MUI tentang wakaf uang, wakaf uang/tunai adalah Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Uang dalam pengertian ini, termasuk juga surat-surat berharga. Wakah tunai atau cash wakaf ini sebenarnya baru mengemuka belakangan ini, sebelumnya wakaf yang familiar diketahui orang adalah wakaf benda-benda tak bergerak, seperti tanah untuk diambil manfaatnya, air untuk diambil airnya, gedung untuk dimanfaatkan gedungnya dan benda-benda tak bergerak lainnya. Menurut sejarah, memang wakaf tunai telah dipraktekkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Namun yang menjadi perhatian para ulama’ adalah pada hukum dari wakaf tunai ini.

Wahbah az Zuhaili mengatakan bahwa wakaf tunai telah dipraktekkan oleh mazhab hanafi, sebab mazhab hanafi membolehkan wakaf tunai ini. Mazhab maliki pun membolehkan wakaf makanan, uang dan lain sebagainya. Sedangkan Mazhab syafi’i tidak membolehkan wakaf tunai, sebab dirham dan dinar akan lenyak ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya. Imam Al-Bukhori mengatakan bahwa Imam Az-Zuhri berpendapat dinar dan dirham itu boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Mazhab hanafi dalam masalah wakaf tunai ini berpegang pada Istihsan bi al-‘Urfi, (kebiasan masyarakat), seperti wakaf buku untuk para penuntut ilmu dan wakaf mushaf al-Qur’an untuk masyarakat, hal ini berdasakan hadis ibnu mas’ud: “apa yang dipandang bak oleh kaum muslimin maka dipandang baik oleh Allah, apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, dipandang baik pula oleh Allah”. Oleh karena itu, jika mewakafkan barang yang bisa dipindanjadi tiahkan tetapi belum membudaya di masyarakat, hukumnya kembali ke asal, yaitu tidak boleh. Cara melakukan wakaf tunai menurut mazhab hanafi adalah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau mubadha’ah. Sedangkan keuntungannya diaserahkan kepada pihak wakaf.

Secara singkat, perbedaan pendapat para ulama’ terkait wakaf tunai ini, dapat kami kelompokkan menjadi tiga point, yaitu:Pendapat Pertama: Tidak boleh wakaf dengan barang al-manqul secara mutlak.Pendapat Kedua: Boleh wakaf dengan barang al-manqul, jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan, seperti wakaf senjata.Pendapat Ketiga:  Boleh wakaf dengan barang al-manqul jika barang tersebut sebagai pelengkap dari barang tidak al-manqul, atau jika terdapat dalil yang menyebutkan hal tersebut, seperti wakaf senjata atau dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat bahwa barang tersebut diwakafkan.
Tetapi, para ulama yang membolehkan wakaf al- manqul pun masih berbeda pendapat tentang hukum wakaf tunai (uang), walaupun uang sendiri bagian dari al-manqul, tetapi uang mempunyai sifat-sifat sendiri yang berbeda dengan sifat-sifat barang lain. Perbedaan ulama tersebut teringkas dalam dua pendapat berikut:

Pendapat Pertama: Wakaf tunai hukumnya tidak boleh. Ini pendapat Ibnu Abidin dari Hanafiyah dan madzhab Syafi’i. Ibnu Abidin berkata: “wakaf tunai (dengan dirham) merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Romawi, bukan dalam masyarakat kita. Begitu juga  wakaf kapak dan pisau pernah berlaku pada zaman terdahulu, tetapi tidak lagi pernah terdengar pada zaman kita. Untuk itu, tidak sah kalau diterapkan sekarang, seandainya-pun ada, maka sangat jarang terjadi dan itu tidak dianggap. (Sebagaimana diketahui) bahwa yang dijadikan standar adalah kebiasaan masyarakat yang sudah menyebar.“   Mereka mempunyai dua alasan:

*Uang zatnya bisa habis dengan sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dan dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf adalah harta yang tetap. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai.

*Uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya

Pendapat Kedua: Wakaf tunai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Imam Zuhri, seorang ahli hadist, Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, ini juga pendapat sebagian ulama mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah dan sebagian ulama dari kalangan Syafii, sebagaimana disebutkan Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir, bahwa Abu Tsaur meriwayatkan hal itu dari Imam Syafi’i.
Namun, pendapat yang umum dipakai adalah pendapat kedua. Bahwa wakaf tunai hukumnya boleh,      Kebolehan wakaf tunai ini telah ditetapkan pada konferensi ke- 15, Majma’ al-Fiqh al-Islami  OKI, No : 140 , di Mascot, Oman, pada tanggal 14-19 Muharram 1425 H/ 6-11 Maret 2004 M.  Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf tunai, pada tanggal 11 Mei 2002. Wakaf Tunai juga sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 4/ 2009 dan dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 diatur dalam pasal 28 sampai pasal 31. Yang perlu diperhatikan kemudian adalah bagaimana pengelolan wakaf tunai ini dalam praktek muamalah.

Dasar hukum wakaf tunai

Memang pada prinsipnya, uang adalah alat tukar yang  akan habis sekali pakai. Sehingga tidak sesuai dengan prinsip wakaf itu sendiri. Namun dalam perkembangan zaman dengan sistem ekonomi yang juga telah bgitu pesat perkembangannya, wakaf tunai sangat mungkin untuk dilakukan. Yaitu uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha, ini sebagaimana pendapat mazhab Hanafi. Bisa juga uang itu diinvestasikan dalam wujud saham dalam perusahaan bonafide atau didepositokan di perbankan syari’ah, dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf uang yang diinvestasikan dalam wujud uang ini, atau didepositokan, nilau uangnnya tetap terpelihara dan dapat memberikan hasil dalam jangka waktu yang lama.
Dengan kenyataan ini, maka wakaf uang tentu bukan sesuatu yang tabu lagi. Bahkan jika kita menilik pada sisi kemanfaatan dan keuntungan, maka wakaf tunai tidak kalah besar manfaat dan keuntungannya. Sehingga dapat dipastikan secara logika hukum wakaf tunai dapat dibenarkan. Sebagaimana wakaf biasa, dalil-dalil yang dapat digunakan dalam wakaf tunai ini pun juga sama, yaitu: Firman Allah SWT :

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menfkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [6] : 92).  Dan juga firman Allah berikut: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang orang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tiada menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. AL Baqarah [2]: 261-262).

Dikuatkan dengan hadis Nabi Muhammad: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ” Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud). Di hadis lain disebutkan: ”Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Umar bin al-Khaththab ra memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, ” Wahai Rasulullah ! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya ?” Nabi SAW menjawab : “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.” Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata, “Saya menceritakan hadits tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu berkata ‘ghaira muta’tsilin makan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik).”  (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i). Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra ; ia berkata, Umar ra berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (H.R. al-Nasa’i). Jabir ra berkata: “Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf.”

Adapun dalil yang dapat memperkuat wakaf tunai adalah hadis dari Imam Zuhri bahwasanya ia berkata: “ Tentang seseorang yang mewakafkan seribu dinar di jalan Allah, dan uang tersebut diberikan kepada pembantunya untuk diinvestasikan, kemudian keuntungannya disedekahkan untuk orang-orang miskin dan para kerabat. “ (Shahih Bukhari). Banyak ulama’ yang telah memberikan argumentasinya, termasuk ulama’ mazhab tentang wakaf tunai ini, seperti yang telah kami paparkan di depan. Komisi Fatwa MUI pun telah mengeluarkan fatwa pembolehan wakaf tunai, dan memberikan definisi baru terhadap wakaf, yaitu wakaf adalah: menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap benda atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum tehadap benda tersebut (menjual, memberikan atau mewariskan), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.

PENUTUP

Wakaf tunai sejatinya adalah dapat kita katakan sebagai sebuah langkah untuk menjawab tantangan zaman, terlebih kemajuan sistem ekonomi yang kian pesat, memaksa Islam sebagai agama paripurna untuk bisa memberikan jawaban terhadap kemajuan yang kian kompleks. Proses investasi saham dan juga deposito uang yang diwakafkan adalah salah satu bentuk pengelolaan wakaf tunai, bisa jadi suatu saat nanti ada lagi ruang baru sebagai media pengelolaan wakaf tunai.

Pada proses wakaf tunai, nilai uang tentu tidak berubah dan justru akan memberikan manfaat yang cukup besar dalam jangka waktu yang lama. Secara hukum, telah banyak ulama’ yang memberikan pandangan tentang kebolehan akaf tunai ini, OKI Sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Islam maupun yang mayoritas Islam, telah sepakat tentang kebolehan wakaf tunai. Di Indonesia sendiri MUI pun telah mengeluarkan fatwanya tentang wakaf tuani, diperkuat dengan PMA terkait pengelolaan wakaf tunai ini.

Maka menurut kami yang paling urgen sekarang adalah bagaimana pengelolaan wakaf tunai itu, bukan pada boleh atau tidaknya. Wallahu a’lam


DAFTAR PUSTAKA

Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press. 1998
__________, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: DEPAG RI. 2003
__________, Panduan Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta: KEMENAG RI. 2013
Anisa Fitria Utami dan  Munawar Ismail, Implementasi Pengelolaan Wakaf Tunai (Studi Pada Baitul Mall Hidayatullah dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah). Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
UU Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Wakaf. www.bpkp.go.id.



Load comments

Ads 970x90