
Karl Marx menetapkan kekayaan materi sebagai ukuran eksistensi seseorang, semakin bermateri seseorang maka akan semakin terhormat dan ditinggikan derajatnya, sehingga dia lah yang eksis. Ukuran bermateri ini kemudian membuat manusia menciptakan stratifikasi, maka ada yang disebut kaya dan ada yang miskin. Dalam sistem produksi kapitalis disebut borjuis dan proletar.
Namun jauh sebelumnya, Rene Descartes justeru menjadikan aktivitas berfikir sebagai ukuran eksistensi itu, “cogito ergo sum” katanya. Maka rasio menjadi istrumen bagi manusia untuk mencari eksistensinya. Hari ini kita bisa lihat, strata akademis adalah daya tawar dalam kehidupan sosial. Siapa yang paling tinggi tingkat intelektualnya, mampu mengelolah daya pikirnya untuk berinovasi dan berkreasi, terlebih memiliki titel/gelar akademik yang tinggi, apalagi lulusan luar negeri yang kadung dianggap memiliki prestise tersendiri, dia akan memiliki kedudukan yang terhormat di masyarakat, diakui eksistensinya.
Beda lagi dengan Thomas M. Scheidel, baginya justeru aktivitas komunikasi adalah ukuran eksistensi itu, maka berlaku pameo “aku berbicara, maka aku ada”. Siapa yang mampu menguasai komunikasi –dalam hal ini termasuk ruang dan media komunikasi- maka dia yang akan eksis. Contoh sederhana, dalam suatu forum, siapa yang paling vokal dan pandai beretorika, dia lah yang akan menguasai forum dan besar kemungkinan untuk menguasai peserta forum.
Contoh lain dalam hal penguasaan media komunikasi, yaitu pemanfaatan media masa mainstream baik cetak maupun digital, untuk propaganda dan menyebarkan informasi-informasi yang sarat kepentingan para pemiliknya. Cara ini memang sangat ampuh, apalagi media-media mainstream digital, sebab dunia virtual kerjanya cepat dan mampu menerobos strata mana pun di masyarakat. Sehingga jelas bahwa, siapa yang menguasai media masa, dapat dipastikan mereka memiliki peluang yang besar untuk mempengaruhi dan mengendalikan masyarakat. Akhirnya kepentingan penguasa media massa itu tetap terjaga, mereka tetap eksis.
Contoh lain dalam hal penguasaan media komunikasi, yaitu pemanfaatan media masa mainstream baik cetak maupun digital, untuk propaganda dan menyebarkan informasi-informasi yang sarat kepentingan para pemiliknya. Cara ini memang sangat ampuh, apalagi media-media mainstream digital, sebab dunia virtual kerjanya cepat dan mampu menerobos strata mana pun di masyarakat. Sehingga jelas bahwa, siapa yang menguasai media masa, dapat dipastikan mereka memiliki peluang yang besar untuk mempengaruhi dan mengendalikan masyarakat. Akhirnya kepentingan penguasa media massa itu tetap terjaga, mereka tetap eksis.
Instrumen eksistensi lainnya adalah kekuasaan. Ada benarnya apa yang dikatakan Kahlil Gibran, bahwa kekuasaan bersumber dari problem eksistensi. Eksistensi ini adalah egoisme yang menyebabkan keangkuhan buta, melahirkan pertikaian dan ambisi menghegemoni orang lain.
Indikasi dari kekuasaan adalah persaingan merebut pengaruh, dan persaingan –dalam instrumen mana pun- selalu punya sisi buruk, yaitu membenarkan cara yang salah, dan mengabaikan cara yang benar. Celakannya, sisi buruk ini yang terus-terusan kita saksikan hari-hari ini, di Negara ini.
Eksistensi tidak selalu berarti terkenal dan tampil, melainkan kesempatan dan kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur.
****
Penguasaan atas sumberdaya alam Indonesia oleh segelintir elit, baik hasil dari persekongkolan antara penguasa dan pengusaha atau "berkah" birokrat yang merangkap korporat, adalah wujud dari pengabaian kepentingan masyarakat luas dan tentu saja adalah cara untuk mendapatkan eksistensi.
Aturan-aturan yang dibuat untuk menjerat siapa saja yang berbeda kata dan sikap, menjegal siapa yang kritis dan melawan, menjatuhkan lawan dan melindungi kawan, membatasi ekspresi dan topik pembicaraan hingga mendikte setiap kosakata yang harus diucapkan rakyat kala berhadapan dengan penguasa, juga merupakan wujud nyata dari keserakahan untuk mendapatkan eksistensi.
Demikian halnya dengan penguasaan sumber-sumber informasi hari-hari ini, sehingga hampir tak ada lagi media massa yang bisa dipercaya untuk dapat bicara jujur dan adil tentang penguasa dan kekuasaannya. Media massa sebagai sumber informasi, tidak ubahnya sebagai penyambung lidah penguasa, menjadi juru bicara yang saban hari turut merias kegagalan penguasa menjadi seolah keberhasilan besar. Ini wajar memang, sebab media massa adalah medan perang dalam perebutan wacana, siapa yang menang dalam perang itu, dialah yang mampu meneguhkan eksistensinya. Penguasa punya kekuatan penuh untuk menciptakan opini publik dan mitos-mitos yang mutakhir.
Apalagi hari-hari ini kita melihat penguasa dengan kekuasaannya seolah menggunakan "rasio instrumental"; masyakat dipandang sebagai suatu hal yang dapat dimanipulasi, ditundukkan dan dikuasai, pada akhirnya penguasa punya kekuatan mendominasi dan menghegemoni, termasuk memberikan pemaknaan tunggal atas suatu hal, misalnya siapa Pancasila siapa radikal, siapa toleran siapa teroris, siapa waras siapa gila, siapa valid siapa hoax, siapa benar siapa salah, bahaya dan tidak berbahaya, ilmiah dan tidak ilmiah, mana kritik mana menghina, mana legal mana yang ilegal dan seterusnya.
***
Seorang pengamat politik kondang pernah berkata begini; "Bila penguasa gagal memberi keadilan, ia akan berceramah tentang keamanan nasional". Perkataan ini tampaknya adalah rumus yang benar-benar dipraktekkan penguasa hari-hari ini. Ketimpangan sosial, penegakkan hukum yang pilah pilih tebang, kegagalan membaca masalah masyakat dan kekacauan di berbagai sektor, akan mudah ditutup-tutupi penguasa dengan kemampuan berkilah dan pengalihan isunya yang teruji, sehingga mereka dapat terlepas dari kemarahan rakyat yang dapat meledak atau dengan kekuasaan dan segala fasilitas yang dimiliki, mereka dapat mengunci gerak dan menutup mulut rakyat agar tidak dapat melawan.
Soekarno muda pernah menulis, bahwa tidak pernah ada satu perangpun yang terjadi karena faktor ideologi, perang terjadi karena perebutan barang mentah, ideologi hanyalah alasan untuk semakin menambah gelora peperangan, penguasaan atas barang mentah adalah instrumen dari eksistensi itu! Karena itu -sebagaimana dijelaskan di atas- huru-hara yang terjadi, konflik-konflik yang tidak berkesudahan, aksi rasisme yang seperti tidak pernah hilang di zaman semodern ini, boleh jadi adalah peristiwa yang disengaja dan dikehendaki para pengejar eksistensi, mungkin untuk tujuan kekuasaan atau penguasaan sumberdaya.
***
Ada penjelasan yang baik sekali yang pernah dibuat Cak Nun tentang bagaimana cara penguasa menyelesaikan persolan masyarakat, penjelasan itu digambarkan dalam tiga cara menaklukkan macan. Pertama, macan ditaklukkan dengan menggunakan kekuatan dan kuasaan yang dimiliki, misalnya macan akan ditangkap secara paksa, atau dilawan dengan berduel, atau macan itu ditembak mati. Ini cara yang paling primitif. Kedua, macan ditaklukkan dengan cara intelektual, macan akan diberi makanan lalu digiring sehingga dapat ditangkap. Kedua cara ini hanya dilakukan oleh satria. Sementara yang dibutuhkan adalah cara yang Ketiga, macan yang ditaklukan oleh seorang Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu, yakni seorang satria yang memiliki ilmu, kekuatan, kemampuan politik, kewibawaan, determinasi sosial dan bertindak atas dasar bimbingan wahyu. Cara yang ketiga ini adalah dilakukan oleh seorang pawang, dia tidak menggunakan kekuatan senjata, tidak juga dengan bujukan makanan, tetapi kehadirannya dapat memberikan ketenangan bagi macan itu, sehingga dengan sendirinya macan itu akan tunduk.
Hari-hari ini, termasuk hari-hari yang telah lalu dan mungkin juga di hari-hari yang akan datang, kita menyaksikan bahwa penguasa masih menggunakan cara pertama dan kedua dalam menghadapi masalah masyarakat. Penyelesaian masalah dengan cara pertama dan kedua bukanlah menghilangkan akar masalahnya, meski hilang masalah itu, tapi akarnya tetap ada, dan akan tumbuh dan muncul kembali masalah yang baru.
Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, demi eksistensi itu, kelaparan yang melanda masyakat tidak direspon dengan pemenuhan kebutuhan pangan, tetapi dijawab dengan peningkatan keamaman atau janji-janji baru yang sama seperti yang sudah-sudah; omong kosong. Mungkin masyarakat diam saat itu, tetapi diamnya bukan kelegaan, melainkan dendam yang akan meledak di kemudian hari.
Indonesia hanya butuh seorang pawang; dia yang mengerti dan tau bagaimana menyelesaikan masalah rakyatnya, rakyat pun percaya padanya. Dia tidak akan lari dari rakyatnya, rakyatpun tidak akan meninggalkannya, sebab dia muncul dari rakyat dan berbuat demi dan untuk rakyat. Tentu seorang pawang bukan penggila eksistensi, tapi dia dengan sendirinya tidak hanya eksis di hadapan rakyat, tetapi bersemi dalam hati dan ingatan rakyatnya.
Yogyakarta, 3 Februari 2017