Fetching data...

Tuesday, 7 February 2017

Filsafat Ilmu (Bagian Kedua)

    Landasan Ontologi Ilmu
Dalam pembahasan tentang “apa hakikat ilmu?”, seringkali muncul pertanyaan tentang “apa itu pengetahuan?”. Keduanya –ilmu dan pengetahuan- seringkali dianggap berbeda; yang pertama adalah yang ilmiah dan yang kedua tidak ilmiah karena tidak memenuhi syarat sebagai ilmu (ilmiah). Kedua terminologi ini penting untuk dibahas, agar pemahaman tentang ilmu benar-benar sebagaimana seharusnya.

Banyak cendekiawan yang telah mencoba mendefinisikan ilmu, dan banyak pula akhirnya pengertian ilmu yang bermunculan. Plato mendefinisikan ilmu dengan mengatakan; “ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan.”

Dari pengertian ilmu yang disumbangkan Plato tersebut, kemudian dijabarkan oleh Syamsudin Arif dengan memecah pengertian itu menjadi tiga, yakni; keyakinan, kebenaran dan nalar. Tiga hal inilah yang menurut Syamsudin Arif –sebagaimana hasil kesimpulannya dari defnisi Plato- harus terpenuhi untuk proposisi apa pun agar memenuhi syarat sebagai ilmu. Dia mengatakan –sebagaimana nalar plato- bahwa, mengetahui adalah ilmu. Pengetahuan atas sesuatu menghasilkan keyakinan, namun ilmu tidak sekedar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar yang dapat disebut ilmu, yang salah tidak. Untuk mengetahui atau memutuskan bahwa suatu keyakinan itu benar, haruslah didukung oleh nalar; jika secara nalar dibenarkan, maka keyakinan itu benar.[1] Pernyataan plato sebagaimana yang dipaparkan kembali oleh Syamsudin Arif tersebut tentu tidak begitu asing dalam bilik-bilik akademik, sebagai ciri tradisi keilmuan Barat.

The Liang Gie menyimpulkan Ilmu sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberi penjelasan, atau melakukan penerapan. Pengetahuan yang ilmiah (science) sendiri menurutnya adalah memiliki lima ciri pokok, yaitu empiris, sistematis, objektif, analitis dan verifikatif.[2]

Dalam tradisi keilmuan Barat, Ilmu dibagi atas dua, yaitu science dan knowledge. Science dalam bahasa Indonesia berarti Ilmu Pengetahuan (ilmiah), sedangkan knowledge hanya pengetahuan saja. Ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Barat, hanya sesuatu yang dapat diuji secara rasional dan empiris, atau hanya menyangkut pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris. Sedangkan “pengetahuan” adalah hal-hal yang menyangkut non-fisik dan tidak dapat dianggap berpredikat ilmiah, seperti konsep mental dan metafisika. Dalam tradisi keilmuan Barat, ilmu pengetahuan (science/ilmiah) memiliki sifat; rasional (dapat dibenarkan logika), empiris (dapat ditangkap panca indera), sistematis (fakta yang tersusun secara bulat dan konsisten), umum (dapat dipelajari setiap orang), dan akumulatif (kebenaran yang diperoleh dapat menjadi kebenaran yang baru).

Gie menjelaskan bahwa ilmu dapat dipahami dengan tiga sudut, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan; sebab ilmu harus diusahakan oleh aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilakukan dengan metode tertentu, yang pada akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang  sistematis. Kesatuan tiga hal ini lah yang kemudian menjadi apa yang disebut ilmu.[3] Pemaparan gie tersebut juga dapat dikatakan sebagai ciri pemikiran keilmuan Barat.

Lain halnya dengan Al-Attas, dia menegaskan bahwa keilmuan Barat tidak mungkin sama dengan keilmuan Islam, ada perbedaan yang mendasar bahkan soal ontologi ilmu. Al-Attas mengatakan bahwa secara umum ilmu tidak memerlukan pendefinisian, menurutnya makna yang terkandung di dalam istilah ‘ilm secara alami dapat langsung dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu, sebab ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting baginya. Apa arti ilmu telah jelas baginya sehingga tidak diperlukan lagi penjelasan yang menerangkan sifat khususnya. Namun al-Attas justeru mengklasifikasikan secara umum ilmu ke dalam dua bentuk, yaitu hidangan dan kehidupan bagi jiwanya, dan yang lain adalah bekal untuk kelengkapan diri manusia di dunia demi mengejar tujuan-tujuan pragmatisnya. Dia menjelaskan, ilmu jenis pertama diperoleh manusia melalui pengungkapan langsung Allah kepada manusia melalui wahyu-Nya. Ilmu jenis ini merupakan ilmu tentang kebenaran objektif yang dibutuhkan untuk membimbing manusia. Sedangkan yang jenis kedua diperoleh manusia melalui spekulasi dan usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas pengalamannya terhadap  segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indra dan difahami oleh akal. Ilmu jenis kedua ini merujuk kepada ilmu mengenai data yang dapat ditangkap panca indra dan difahami oleh akal yang dipelajari untuk kegunaan dan pemahaman kita.[4] Dalam kesempatan lain, al-Attas –sebagaimana dikutip Agastya Harjunadhi- mengatakan bahwa ilmu adalah sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri.[5]

Dari penjelasan al-Attas, dapat dipahami bahwa, pada ilmu jenis pertama adalah seperti pengetahuan tentang langit. Dari pengetahuan yang diperoleh dalam wahyu-Nya, bahwa langit itu ada tujuh lapis. Atau informasi tentang adanya surga dan neraka serta bagian-bagiannya. Ini adalah pengetahuan yang ilmiah karena Allah yang langsung menginformasikannya dalam wahyu-Nya tanpa manusia harus melakukan observasi ataupun upaya-upaya rasional untuk membuktikannya. Sedangkan untuk contoh ilmu yang kedua, adalah seperti pengetahuan manusia tentang struktur tubuh manusa yang rumit misalnya, atau pengetahuan tentang adanya melekul-molekul yang membentuk suatu senyawa. Ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang manusia dapatkan berkat kreatifitas manusia dalam melakukan penelitian, penyelidikan secara rasional, serta upaya-upaya yang menggunakan panca indera yang dapat dibenarkan dengan akal manusia. Dua bentuk ini adalah sama-sama merupakan ilmu yang ilmiah, tidak dibedakan yang pertama sebagai hanya pengetahuan (tidak ilmiah) dan yang kedualah yang merupakan ilmu (ilmiah).

Adian menjelaskan –dengan merujuk pandangan Wan Mohd Nor Wan Daud- secara linguistik, ilmu atau ‘ilm berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti ‘tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda’.  Dengan demikian ma’lam (jamak: ma’alim) berarti ‘tanda jalan’, atau ‘sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang’. Seiring dengan itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai ‘petunjuk jalan’. Maka memang kata ilmu, alam, dan ‘ilm (dengan makna ‘yakin’) memiliki akar kata yang sama. Sehingga jika “alam” dipahami sebagai ayat Allah maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT.[6]

Di dalam tradisi keilmuan Islam, tidak pernah ada dikotomi (pembagian) ilmu sebagaimana Barat. Sejak awal, ilmu dalam Islam adalah dalam bidang-bidang fisik maupun yang non fisik. Sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud –sebagaimana dirujuk Adian- di atas. Bahwa secara bahasa saja, kata ‘ilm memiliki makna yang luas. Sehingga memang akhirnya tidak mungkin dilakukan dikotomisasi atas ilmu. Sehingga al-Attas pun hanya mengklasifikasikan secara umum deskripsi ilmu tersebut; bahwa ilmu adalah berasal dari Allah, dengan penjelasan-penjelasan selanjutnya. Sehingga keilmiahan ilmu bukan hanya pada bidang-bidang fisik atau logis-empiris semata, namun hal-hal non fisik yakni metafisika atau alam ghaib pun dalam tradisi keilmuan Islam dimaknai sebagai Ilmu (ilmiah). Sehingga pengetahuan tentang adanya alam kubur, adanya alam jin, adanya akhirat, adanya langit yang tujuh lapis, adanya malaikat, serta adanya hal-hal yang metafisikan atau ghaib, adalah pengetahuan yang benar dan ilmiah, walau panca indera dan akal tak pernah sampai menjangkaunya. Sebab dalam tradisi keilmuan Islam, sumber ilmu tidak hanya yang rasional dan empiris semata, tetapi ada sumber yang lain, yakni wahyu. Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya.


Lanjut Bagian Ketiga...



[1] Lihat, Syamsuddin Arif, “Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu”, dalam Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 73 - 74
[2] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004), hlm. 130
[3] Ibid., 88
[4] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2010), hlm. 179 - 182
[5] Lihat, Agastya Harjunadhi, “Perbandingan Filsafat Ilmu dan Ilmu Filsafat,” (dalam pdf), hlm. 2
[6] Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, hlm. XXV - XXVI

Load comments

Ads 970x90