Landasan Ontologi Ilmu
Dalam pembahasan tentang “apa hakikat ilmu?”, seringkali muncul
pertanyaan tentang “apa itu pengetahuan?”. Keduanya –ilmu dan pengetahuan-
seringkali dianggap berbeda; yang pertama adalah yang ilmiah dan yang kedua
tidak ilmiah karena tidak memenuhi syarat sebagai ilmu (ilmiah). Kedua
terminologi ini penting untuk dibahas, agar pemahaman tentang ilmu benar-benar
sebagaimana seharusnya.
Banyak cendekiawan yang telah mencoba mendefinisikan ilmu, dan
banyak pula akhirnya pengertian ilmu yang bermunculan. Plato mendefinisikan
ilmu dengan mengatakan; “ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan.”
Dari
pengertian ilmu yang disumbangkan Plato tersebut, kemudian dijabarkan oleh
Syamsudin Arif dengan memecah pengertian itu menjadi tiga, yakni; keyakinan,
kebenaran dan nalar. Tiga hal inilah yang menurut Syamsudin Arif –sebagaimana
hasil kesimpulannya dari defnisi Plato- harus terpenuhi untuk proposisi apa pun
agar memenuhi syarat sebagai ilmu. Dia mengatakan –sebagaimana nalar plato-
bahwa, mengetahui adalah ilmu. Pengetahuan atas sesuatu menghasilkan keyakinan,
namun ilmu tidak sekedar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar yang dapat
disebut ilmu, yang salah tidak. Untuk mengetahui atau memutuskan bahwa suatu
keyakinan itu benar, haruslah didukung oleh nalar; jika secara nalar
dibenarkan, maka keyakinan itu benar.[1]
Pernyataan plato sebagaimana yang dipaparkan kembali oleh Syamsudin Arif
tersebut tentu tidak begitu asing dalam bilik-bilik akademik, sebagai ciri
tradisi keilmuan Barat.
The Liang Gie menyimpulkan Ilmu sebagai rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan
tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberi penjelasan, atau melakukan
penerapan. Pengetahuan yang ilmiah (science) sendiri menurutnya adalah
memiliki lima ciri pokok, yaitu empiris, sistematis, objektif, analitis dan
verifikatif.[2]
Dalam tradisi keilmuan Barat, Ilmu dibagi atas dua, yaitu science
dan knowledge. Science dalam bahasa Indonesia berarti Ilmu
Pengetahuan (ilmiah), sedangkan knowledge hanya pengetahuan saja. Ilmu
pengetahuan dalam tradisi keilmuan Barat, hanya sesuatu yang dapat diuji secara
rasional dan empiris, atau hanya menyangkut pada bidang-bidang ilmu fisik atau
empiris. Sedangkan “pengetahuan” adalah hal-hal yang menyangkut non-fisik dan
tidak dapat dianggap berpredikat ilmiah, seperti konsep mental dan metafisika.
Dalam tradisi keilmuan Barat, ilmu pengetahuan (science/ilmiah) memiliki
sifat; rasional (dapat dibenarkan logika), empiris (dapat ditangkap panca
indera), sistematis (fakta yang tersusun secara bulat dan konsisten), umum
(dapat dipelajari setiap orang), dan akumulatif (kebenaran yang diperoleh dapat
menjadi kebenaran yang baru).
Gie menjelaskan bahwa ilmu dapat dipahami dengan tiga sudut, yaitu
pengetahuan, aktivitas dan metode. Ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang
mesti ada secara berurutan; sebab ilmu harus diusahakan oleh aktivitas manusia,
aktivitas itu harus dilakukan dengan metode tertentu, yang pada akhirnya
aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan tiga hal ini lah yang
kemudian menjadi apa yang disebut ilmu.[3]
Pemaparan gie tersebut juga dapat dikatakan sebagai ciri pemikiran keilmuan
Barat.
Lain halnya dengan Al-Attas, dia menegaskan bahwa keilmuan Barat
tidak mungkin sama dengan keilmuan Islam, ada perbedaan yang mendasar bahkan
soal ontologi ilmu. Al-Attas mengatakan bahwa secara umum ilmu tidak memerlukan
pendefinisian, menurutnya makna yang terkandung di dalam istilah ‘ilm secara
alami dapat langsung dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya tentang
ilmu, sebab ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting baginya. Apa arti
ilmu telah jelas baginya sehingga tidak diperlukan lagi penjelasan yang
menerangkan sifat khususnya. Namun al-Attas justeru mengklasifikasikan secara
umum ilmu ke dalam dua bentuk, yaitu hidangan dan kehidupan bagi jiwanya, dan
yang lain adalah bekal untuk kelengkapan diri manusia di dunia demi mengejar
tujuan-tujuan pragmatisnya. Dia menjelaskan, ilmu jenis pertama diperoleh
manusia melalui pengungkapan langsung Allah kepada manusia melalui wahyu-Nya.
Ilmu jenis ini merupakan ilmu tentang kebenaran objektif yang dibutuhkan untuk
membimbing manusia. Sedangkan yang jenis kedua diperoleh manusia melalui
spekulasi dan usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas pengalamannya
terhadap segala sesuatu yang dapat
ditangkap oleh panca indra dan difahami oleh akal. Ilmu jenis kedua ini merujuk
kepada ilmu mengenai data yang dapat ditangkap panca indra dan difahami oleh
akal yang dipelajari untuk kegunaan dan pemahaman kita.[4]
Dalam kesempatan lain, al-Attas –sebagaimana dikutip Agastya Harjunadhi-
mengatakan bahwa ilmu adalah sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan
dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri.[5]
Dari penjelasan al-Attas, dapat dipahami bahwa, pada ilmu jenis
pertama adalah seperti pengetahuan tentang langit. Dari pengetahuan yang
diperoleh dalam wahyu-Nya, bahwa langit itu ada tujuh lapis. Atau informasi
tentang adanya surga dan neraka serta bagian-bagiannya. Ini adalah pengetahuan
yang ilmiah karena Allah yang langsung menginformasikannya dalam wahyu-Nya
tanpa manusia harus melakukan observasi ataupun upaya-upaya rasional untuk
membuktikannya. Sedangkan untuk contoh ilmu yang kedua, adalah seperti
pengetahuan manusia tentang struktur tubuh manusa yang rumit misalnya, atau
pengetahuan tentang adanya melekul-molekul yang membentuk suatu senyawa. Ini
adalah pengetahuan-pengetahuan yang manusia dapatkan berkat kreatifitas manusia
dalam melakukan penelitian, penyelidikan secara rasional, serta upaya-upaya
yang menggunakan panca indera yang dapat dibenarkan dengan akal manusia. Dua
bentuk ini adalah sama-sama merupakan ilmu yang ilmiah, tidak dibedakan yang
pertama sebagai hanya pengetahuan (tidak ilmiah) dan yang kedualah yang
merupakan ilmu (ilmiah).
Adian menjelaskan –dengan merujuk pandangan Wan Mohd Nor Wan Daud-
secara linguistik, ilmu atau ‘ilm berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim
yang diambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti ‘tanda, penunjuk,
atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau
label; ciri; petunjuk; tanda’. Dengan
demikian ma’lam (jamak: ma’alim) berarti ‘tanda jalan’, atau
‘sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang
membimbing seseorang’. Seiring dengan itu, ‘alam juga dapat diartikan
sebagai ‘petunjuk jalan’. Maka memang kata ilmu, alam, dan ‘ilm (dengan
makna ‘yakin’) memiliki akar kata yang sama. Sehingga jika “alam” dipahami
sebagai ayat Allah maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada
keyakinan pada Allah SWT.[6]
Di dalam tradisi keilmuan Islam, tidak pernah ada dikotomi
(pembagian) ilmu sebagaimana Barat. Sejak awal, ilmu dalam Islam adalah dalam
bidang-bidang fisik maupun yang non fisik. Sebagaimana apa yang dijelaskan oleh
Wan Mohd Nor Wan Daud –sebagaimana dirujuk Adian- di atas. Bahwa secara bahasa
saja, kata ‘ilm memiliki makna yang luas. Sehingga memang akhirnya tidak
mungkin dilakukan dikotomisasi atas ilmu. Sehingga al-Attas pun hanya
mengklasifikasikan secara umum deskripsi ilmu tersebut; bahwa ilmu adalah
berasal dari Allah, dengan penjelasan-penjelasan selanjutnya. Sehingga
keilmiahan ilmu bukan hanya pada bidang-bidang fisik atau logis-empiris semata,
namun hal-hal non fisik yakni metafisika atau alam ghaib pun dalam tradisi
keilmuan Islam dimaknai sebagai Ilmu (ilmiah). Sehingga pengetahuan tentang
adanya alam kubur, adanya alam jin, adanya akhirat, adanya langit yang tujuh
lapis, adanya malaikat, serta adanya hal-hal yang metafisikan atau ghaib, adalah
pengetahuan yang benar dan ilmiah, walau panca indera dan akal tak pernah
sampai menjangkaunya. Sebab dalam tradisi keilmuan Islam, sumber ilmu tidak
hanya yang rasional dan empiris semata, tetapi ada sumber yang lain, yakni
wahyu. Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya.
Lanjut Bagian Ketiga...
[1] Lihat,
Syamsuddin Arif, “Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu”, dalam Adian Husaini,
et.al., Filsafat Ilmu, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 73 - 74
[2] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004), hlm.
130
[3] Ibid.,
88
[4] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2010), hlm.
179 - 182
[5] Lihat, Agastya
Harjunadhi, “Perbandingan Filsafat Ilmu dan Ilmu Filsafat,” (dalam pdf), hlm. 2
[6] Adian Husaini,
et.al., Filsafat Ilmu, hlm. XXV - XXVI