Fetching data...

Thursday, 5 January 2017

Populernya Buaya dan Kambing

Dalam dua tahun terakhir ini, setidaknya ada dua hewan mendadak jadi populer, bukan karena prestasi mereka dalam membinatang, tetapi ada oknum "hewan berakal" yang mempopulerkan mereka. Dua hewan itu adalah BUAYA dan KAMBING (lebih spesifiknya KAMBING HITAM).

Ada oknum "hewan berakal" yang rupanya pandai berkamuflase, walau dalam kualitas kamuflase yang amat buruk, parahnya oknum "hewan berakal" itu adalah public figure. Beberapa waktu lalu kita melihat penjahat menangis membela diri di atas meja hijau, maka sebagai awam kita pun sangat bisa mengklasifikasi bahwa air mata itu bukan air mata "hewan berfikir", tapi jelaslah itu air mata milik BUAYA; air mata BUAYA. Berpuluh jam yang lalu kita bahkan diajak bernostalgia, atau lbh tegasnya disadarkan tentang tangis public figure beberapa tahun silam, ketika ada suatu soal besar diputuskan rezim. Hari ini ketika rezim yang lain memutuskan hal yang sama atas soal yang sama, sayangnya tangis itu tidak ada dari public figure yang dahulu pernah menangis bahkan Walk Out dalam sidang untuk rakyat. Sebagai awam, kita pun pasti bisa menegaskan bahwa menyakiti itu tetaplah menyedihkan bagi yang disakiti, atau bagi mereka yang peduli -apalagi menjadi pelayan- kepada siapa yang disakiti. Maka awam tetap tidak bisa dibohongi soal tangis, rupanya tangis yang dahulu itu pun bukan tangis yang meneteskan air mata "hewan berfikir", itu lagi-lagi air mata BUAYA. Lantas hari ini oknum "hewan berfikir" itu mungkin dengan jumawanya merasa paling bersungguhan memikirkan dan berdiri pada bagian yang tegas perjuangkan kemaslahatan orang banyak. Adakah predikat "hewan berfikir" tidak cukup membuat bangga, bahwa kita punya satu keistimewaan lebih tinggi dari hewan biasa, mengapa harus membuaya seperti itu?. Selain soal BUAYA di atas, ada satu pengibaratan yang sangat familiar di bangku sekolah dasar, yaitu "lempar batu sembunyi tangan". Tentu saja setelah melakukan kejahatan lalu tidak mengaku, adalah perbuatan keji, apalagi melakukan kejahatan kemudian tidak mengaku, dan malah menuduh orang lain sebagai pelakunya, tentu ini kejinya kuadrat. Kurang lebih yang terakhir inilah yang sering diibaratkan dengan "mencari KAMBING hitam". Sehingga jika dua pengibaratan tersebut digabungkan, menjadilah; "lempar batu sembunyi tangan, lalu kemudian mencari KAMBING hitam". Sama seperti BUAYA, KAMBING hitam pun dipopulerkan oleh "hewan berakal" yang padahal merupakan public figure. Dua tahun terakhir, "tanah surga" diwarnai oleh aksi mencari KAMBING hitam oleh oknum public figure. Bahkan beberapa puluh jam yang lalu, kita dipertontonkan kegelian dari public figure, ketika mereka kembali melakukan aksi mencari KAMBING hitam. Ini sungguhan, dan tidak perlu butuh pengilustrasian yang bertele-tele untuk membuktikannya. Media-media besar dengan massif mempertontonkan aksi mencari KAMBING hitam itu kepada khalayak. Maka sebagai awam, sangat wajar ketika kita protes, mengapa "hewan berakal" yang menjadi public figure itu lemah sekali mentalnya, berani berbuat tapi enggan mengakui perbuatan, parahnya malah mencari orang lain untuk dipersalahkan. Padahal apalagi yang bisa diharapkan dari seorang "hewan berakal" yang kadung menjadi public figure sekaligus adalah pelayan rakyat, ketika mentalnya tandas, tak punya keberanian. Jika keputusan yang diambil atas suatu soal adalah kebenaran dan untuk kemaslahatan yang lebih besar, mengapa harus mengelak untuk mengakui dan meyakinkan kepada khalayak betapa penting keputusan itu?. Tidak perlu menjadi pencari KAMBING hitam begitu, nanti negeri ini bukan lagi "tanah surga", tapi justeru menjadi tanah yang penuh kebingungan dan ketidak jujuran. Semakin populernya BUAYA dan KAMBING, adalah penanda betapa "tanah surga" kita ini sudah seperti negeri di ujung tanduk, karena resmi menjadi negeri para bedebah. Yogyakarta, 06/01/2016

Load comments

Ads 970x90