Mantra
mengedepankan kemanusiaan selalu makhluk tuhan jelas indah dan logis.
Kita sebagai insan beragama tidak boleh sekadar berpuas dengan ketekunan
dan kesalehan ritual. Perlu ada praktik iman di tengah masyarakat
berikut kerunyaman masalah yang menderanya. Kompas dengan jejaring yang
ada memang kedepankan soal ini. Dan sejauh ini patut diapresiasi
karya-karya mereka seputar kemiskinan dan kepedulian sosial. Termasuk
perjuangan orang duafa di tengah arus perubahan zaman.
Namun
menelaah filosofi Ojong dan Jakob yang kemudian diulang-ulang di buku
"Syukur Tiada Akhir" (buku biografi Jakob), saya temukan ada
kegersangan. Ada lubang secara filsafat ilmu apatah lagi secara teologi
iman saya. Ketuhanan yang bagaimana? Memang dijelaskan. Termasuk soal
keimanan yang memihak para papa. Yang jadi soal, pandangan mantra itu
dilandasi dunia berpikir yang seperti apa? Nah, di sinilah titik syubhat
bahkan amat samar jarang diungkap para intelegensia pengagum Kompas.
Ketuhanan ala Ojong dan Jakob jelaslah berbeda dengan pemahaman saya
selaku muslim. Akar Ketuhanan tauhid saya meski ditarik sebagai bentuk
Ketuhanan, mulai temukan kontras dengan akar ala kedua tokoh tadi.
Singkat kata, Ketuhanan ala Kompas yang memilari kerja kemanusiaan tidak
selalu setali dan senapas dengan alam berpikir umat lain. Hebatnya,
diksi yang dipakai terkesan umum ; menjangkau semua umat beragama.
Padahal, Humanisme Transendental perlu digeledah lebih jauh. Apakah ia
masih menerima Sekularisme ataukah tidak? Apakah ada bias pada fobia
dengan alam berpikir umat lain yang menempatkan agama dan negara
terintegrasi? Ataukah ia malah alergi dan trauma sesuai pengalaman
ajaran agamanya?
Penggeledahan ini menjadi perlu mengingat Kompas
acap bias dan inkonsisten. Ketika sebuah peristiwa memunculkan rasa
kemanusiaan dan saat yang sama hadir kepentingan agama, Kompas
memaksakan mantranya. Tanpa mau menoleransi. Lihat saja keberpihakan
harian Kompas dalam soal perda bernuansa syariah. Demi dalih
kemanusiaan, praksis Berketuhanan umat lain dibingkai. Jelas ini
pemaksaan dan pemaknaan tanpa mau tenggang rasa. Seakan perda-perda itu
pasti memakan korban dan tidak manusiawi. Sebuah apriori yang amat
mewakili wajah sekular dan tidak Berketuhanan sebenarnya.
Menariknya, saat ada kasus kemanusiaan yang dilatari konflik agama,
Kompas genit memainkan mantra tanpa pola ajeg. Ketika kalangan bukan
Islam (minoritas) berposisi sebagai "korban", Kompas aktif mengeluarkan
jurus mantranya. Ketika kalangan Islam jadi korban oleh kalangan di luar
Islam, entah kenapa mantra kemanusiaan hilang ketajamannya. Sandingkan
saat konflik Ambon, Poso, Tolikara dengan "kekerasan" pada jemaat
nasrani dan Syiah. Akan terasa kemanusiaan versi Kompas lebih condong ke
mana. Dus, pantas kiranya publik bertanya ; Ketuhanan bagaimana yang
menjadikan kemanusiaan berderajat berbeda-beda itu?
Kalau
ditelaah dalam lagi, mantra dua pendiri Kompas akan mentok pada
humanisme. Ia memang libatkan dimensi ilahi tapi tidak begitu kokoh
konsepsi yang mendasarinya. Bagaimana tidak, fondasi Ketuhanan yang jadi
pedoman sendiri rapuh. Maka, bukan hal aneh kalau kemanusiaan kemudian
lebih menonjol. Kemanusiaan selalu makhluk bertuhan. Sayangnya, makhluk
bertuhan tanpa kejelasan alam berpikir yang sahih lagi beradab. Mantra
Kompas hanya berdimensi riil dan membela yang tampak. Memang
pendukungnya bilang, beragama itu harus berpihak dan tidak terjebak pada
simbolisme. Sayangnya, mereka sendiri sering terjebak juga dalam
mendefinisikan keberpihakan kemanusiaannya hanya karena simbol. Hanya
karena korbannya Islam yang tidak sejalan dengan mantranya, kemanusiaan
pun dibuang. Lihat saja, pernahkah Kompas membuat berita keluar korban
salah tangkap Densus 88? Padahal sudah jelas mereka dizalimi. Mengapa
hanya karena keluarga itu berpaham "radikal" deritanya ditutupi?
Dengan mantra yang indah di telinga para intelegensia, termasuk muslim
sekalipun, menjadi heran ketika mereka hanya amini saja. Tidak ada upaya
kritik pada polah Kompas. Terlebih ketika grup media ini secara sadar
merapat sebagai juru bicara kekuasaan sekarang. Diakui atau tidak.
Terutama dalam agenda mengawal pluralisme versinya. Kasus pedagang
makanan di Serang yang ditiup Kompas grup sesungguhnya bukan pertama dan
terakhir kalangan ini pantas diragukan komitmen moral di balik
mantranya. Mantra itu seolah absah meski melawan adab dan logika
kearifan lokal yang biasa mereka tulis dan agungkan.
Mantra
Kompas saat ini seperti jadi sihir untuk memuluskan desakralisasi umat
lain pemiliknya. Sihir materialisasi demi bersinergi dengan penguasa
yang sejalan dan bi-adab. Kasus Serang jadi satu totem betapa mantra
Ojong dan Jakob yang disakralkan itu hanya mitos mengelabui publik. Ya,
kemanusiaan yang selektif dengan dimensi rapuh melihat persoalan
Ketuhanan. Saat yang sama, segi adab sama sekali tidak dimiliki selain
soal etika yang hanya bagian kecil belaka.[]
Oleh: Yusuf Maulana (Pensyarah Saben Library)