Fetching data...

Tuesday, 14 June 2016

Mantra Kemanusiaan Kompas

Humanisme Transendental. Kemanusiaan yang Berketuhananan. Mantra ampuh grup penerbit dan media Kompas yang ditiup PK Ojong dan Jakob Oetama. Sebuah napas yang menjadi ruh bergerak kelompok media terbesar di negeri ini. Ia juga yang jadi acuan berpikir dan berkepentingan dalam kerja-kerja jurnalisme harian pentingnya: Kompas. "Amanat Hati Nurani Rakyat" sebagai tagline Kompas tidak dapat dipisahkan dari Kemanusiaan yang Berketuhanan tadi. Pun begitu dengan "Merayakan Perbedaan" yang diusung Kompas TV.

Mantra mengedepankan kemanusiaan selalu makhluk tuhan jelas indah dan logis. Kita sebagai insan beragama tidak boleh sekadar berpuas dengan ketekunan dan kesalehan ritual. Perlu ada praktik iman di tengah masyarakat berikut kerunyaman masalah yang menderanya. Kompas dengan jejaring yang ada memang kedepankan soal ini. Dan sejauh ini patut diapresiasi karya-karya mereka seputar kemiskinan dan kepedulian sosial. Termasuk perjuangan orang duafa di tengah arus perubahan zaman.

Namun menelaah filosofi Ojong dan Jakob yang kemudian diulang-ulang di buku "Syukur Tiada Akhir" (buku biografi Jakob), saya temukan ada kegersangan. Ada lubang secara filsafat ilmu apatah lagi secara teologi iman saya. Ketuhanan yang bagaimana? Memang dijelaskan. Termasuk soal keimanan yang memihak para papa. Yang jadi soal, pandangan mantra itu dilandasi dunia berpikir yang seperti apa? Nah, di sinilah titik syubhat bahkan amat samar jarang diungkap para intelegensia pengagum Kompas. 

Ketuhanan ala Ojong dan Jakob jelaslah berbeda dengan pemahaman saya selaku muslim. Akar Ketuhanan tauhid saya meski ditarik sebagai bentuk Ketuhanan, mulai temukan kontras dengan akar ala kedua tokoh tadi. Singkat kata, Ketuhanan ala Kompas yang memilari kerja kemanusiaan tidak selalu setali dan senapas dengan alam berpikir umat lain. Hebatnya, diksi yang dipakai terkesan umum ; menjangkau semua umat beragama. Padahal, Humanisme Transendental perlu digeledah lebih jauh. Apakah ia masih menerima Sekularisme ataukah tidak? Apakah ada bias pada fobia dengan alam berpikir umat lain yang menempatkan agama dan negara terintegrasi? Ataukah ia malah alergi dan trauma sesuai pengalaman ajaran agamanya?

Penggeledahan ini menjadi perlu mengingat Kompas acap bias dan inkonsisten. Ketika sebuah peristiwa memunculkan rasa kemanusiaan dan saat yang sama hadir kepentingan agama, Kompas memaksakan mantranya. Tanpa mau menoleransi. Lihat saja keberpihakan harian Kompas dalam soal perda bernuansa syariah. Demi dalih kemanusiaan, praksis Berketuhanan umat lain dibingkai. Jelas ini pemaksaan dan pemaknaan tanpa mau tenggang rasa. Seakan perda-perda itu pasti memakan korban dan tidak manusiawi. Sebuah apriori yang amat mewakili wajah sekular dan tidak Berketuhanan sebenarnya. 

Menariknya, saat ada kasus kemanusiaan yang dilatari konflik agama, Kompas genit memainkan mantra tanpa pola ajeg. Ketika kalangan bukan Islam (minoritas) berposisi sebagai "korban", Kompas aktif mengeluarkan jurus mantranya. Ketika kalangan Islam jadi korban oleh kalangan di luar Islam, entah kenapa mantra kemanusiaan hilang ketajamannya. Sandingkan saat konflik Ambon, Poso, Tolikara dengan "kekerasan" pada jemaat nasrani dan Syiah. Akan terasa kemanusiaan versi Kompas lebih condong ke mana. Dus, pantas kiranya publik bertanya ; Ketuhanan bagaimana yang menjadikan kemanusiaan berderajat berbeda-beda itu? 

Kalau ditelaah dalam lagi, mantra dua pendiri Kompas akan mentok pada humanisme. Ia memang libatkan dimensi ilahi tapi tidak begitu kokoh konsepsi yang mendasarinya. Bagaimana tidak, fondasi Ketuhanan yang jadi pedoman sendiri rapuh. Maka, bukan hal aneh kalau kemanusiaan kemudian lebih menonjol. Kemanusiaan selalu makhluk bertuhan. Sayangnya, makhluk bertuhan tanpa kejelasan alam berpikir yang sahih lagi beradab. Mantra Kompas hanya berdimensi riil dan membela yang tampak. Memang pendukungnya bilang, beragama itu harus berpihak dan tidak terjebak pada simbolisme. Sayangnya, mereka sendiri sering terjebak juga dalam mendefinisikan keberpihakan kemanusiaannya hanya karena simbol. Hanya karena korbannya Islam yang tidak sejalan dengan mantranya, kemanusiaan pun dibuang. Lihat saja, pernahkah Kompas membuat berita keluar korban salah tangkap Densus 88? Padahal sudah jelas mereka dizalimi. Mengapa hanya karena keluarga itu berpaham "radikal" deritanya ditutupi?

Dengan mantra yang indah di telinga para intelegensia, termasuk muslim sekalipun, menjadi heran ketika mereka hanya amini saja. Tidak ada upaya kritik pada polah Kompas. Terlebih ketika grup media ini secara sadar merapat sebagai juru bicara kekuasaan sekarang. Diakui atau tidak. Terutama dalam agenda mengawal pluralisme versinya. Kasus pedagang makanan di Serang yang ditiup Kompas grup sesungguhnya bukan pertama dan terakhir kalangan ini pantas diragukan komitmen moral di balik mantranya. Mantra itu seolah absah meski melawan adab dan logika kearifan lokal yang biasa mereka tulis dan agungkan. 

Mantra Kompas saat ini seperti jadi sihir untuk memuluskan desakralisasi umat lain pemiliknya. Sihir materialisasi demi bersinergi dengan penguasa yang sejalan dan bi-adab. Kasus Serang jadi satu totem betapa mantra Ojong dan Jakob yang disakralkan itu hanya mitos mengelabui publik. Ya, kemanusiaan yang selektif dengan dimensi rapuh melihat persoalan Ketuhanan. Saat yang sama, segi adab sama sekali tidak dimiliki selain soal etika yang hanya bagian kecil belaka.[]

Oleh: Yusuf Maulana (Pensyarah Saben Library)

Load comments

Ads 970x90