Fetching data...

Thursday, 18 June 2015

Metode Fatwa MUI

    
OLEH: FUAD ZEIN 

MAJELIS ULAMA INDONESIA 
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA - 2014   

A. Pendahuluan 
          Ulama di Indonesia menyadari bahwa dirinya adalah sebagai pewaris para Nabi pembawa risalah ilahiyah dan sebagai pelanjut misi-misi yang diemban Rasulullah saw pada masa lalu. Mereka terpanggil bersama-sama zu'ama dan cedekiawan muslim untuk memberikan kesaksian akan peran kesejarahan pada perjuangan kemerdekaan yang telah mereka berikan pada masa penjajahan, serta berperan aktif dalam membangun masyarakat dan mensukseskan pembangunan melalui berbagai potensi yang mereka miliki dalam wadah Majelis Ulama Indonesia. Ikhtiar-ikhtiar kebajikan yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia senantiasa ditunjukkan bagi kemajemukan agama, bangsa, dan negara baik pada masa lalu, kini, dan mendatang.  
            Majelis Ulama Indonesia dalam perjalanan sejarahnya yang sudah menginjak usia 32 tahun sejak kelahirannya tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah bertepatan tanggal 26 Juli 1975 Miladiyah, menyadari bahwa harus terdapat hubungan timbal balik antara Islam dan bangsa Indonesia. Islam memerlukan bangsa Indonesia sebagai wahana dalam mewujudkan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Sedangkan bangsa Indonesia memerlukan Islam sebagai landasan bagi pembangunan masyarakat na itu, keberadaan ulama, zu'ama, dan cendekiawan muslim adalah suatu hal yang logis dan merupakan syarat bagi berkembangnya hubungan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.Selain itu, umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia, maka wajar jika umat Islam memiliki peran dan tanggung jawab bagi kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia di masa depan. Meskipun umat Islam masih menghadapi masalah internal dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, pendidikan, kesehatan, kependudukan, ekonomi, politik, dan menghadapi tantangan era globalisasi yang sangat berat.  
           Dalam rangka ikut serta  menjawab dan menyelesaikan berbagai problem umat Islam di negeri tercinta ini, keberadaan komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia dipandang perlu, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Tugas yang diemban komisi yakni memberikan fatwa, hal ini bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung risiko berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Mengingat tujuan pekerjaan tersebut adalah menjelaskan hukum Allah kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Tidak  mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta' dan menetapkan sejumlah prinsip, kode etik, dan persyaratan sangat ketat dan berat yang harus dipegang oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa. 
              Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan yang berkenaan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya, baik yang bersifat ukhrawiyah,  maupun  dunyawiyah. Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan kebangsaan pada masa reformasi dewasa ini yang ditandai dengan adanya keinginan kuat untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, demokratis, dan beradab, maka suatu keharusan bagi MUI untuk meneguhkan jati diri dan I'tikad dengan suatu wawasan mewujudkan peradaban Islam di dunia, dan khususnya bagi masyarakat Indonesia.   

B. Dasar Ijtihad Fatwa MUI
            Menyadari problem yang dihadapi masyarakat semakin kompleks, menyangkut mu'amalah, sosial keagamaan, bahkan kemajuan iptek dan keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah keseluruh aspek bidang kehidupan. Tidak saja membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, melainkan juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan baru. Persoalan yang dahulu tidak dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan, sekarang ini terjadi. 
           Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di Indonesia pada dasawarsa terakhir seamakin tumbuh subur. Oleh karena itu, wajar jika muncul persoalan maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan, umat senantiasa bertanya-tanya bagaimana kedudukan dan pandangan Islam terhadapnya. 
            Pandangan Islam tentang hal tersebut boleh jadi telah termuat dalam sumber ajaran Islam. Boleh jadi telah termuat dalam khasanah klasik karya ulama dahulu, dan tidak tertutup kemungkinan tidak termuat secara tegas di dalam sumber ajaran Islam maupun dalam khasanah klasik, atau bahkan belum pernah tersentuh sama sekali. Jika sudah termuat, tidak semua orang mampu menelaahnya, permasalahan semakin kompleks jika masalahnya belum pernah dibicarakan sama sekali. 
             Membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tentu tidak dibenarkan, baik secara i'tiqadi maupun syar'i. Atas dasar itu, diperlukan adanya pedoman baku ijtihad, disamping prosedur fatwa, dan bagaimana sosialisasinya. Urgensi dari pedoman tersebut untuk menghindarkan sekurang-kurangnya meminimalisir adanya kesimpangsiuran atau perbedaan dalam menjawab mengenai persoalan yang sama yang dikeluarkan oleh MUI pusat dengan MUI daerah, atau antara MUI daerah dengan MUI daerah lainnya.  
1. Dasar-dasar umum penetapan fatwa (Pedoman Penetapan Fatwa MUI, nomor: U – 596/MUI/X/1997) 
a. Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang mu'tabarah.
b. Jika tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasul, keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas yang mu'tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-zari'ah. 
c. Sebelum pengambilan keputusan Fatwa hendaklah ditinjau pendapat- pendapat, dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. 
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.  
 2.   Sumber Ajaran Islam dan Manhaj Ijtihad Hukum
a. Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai dasar pokok pengambilan hukum. 
      Adapun Sunnah Rasul yang dijadikan hujjah adalah: 
1) Hadis sahih li zatihi 
2) Hadis sahih li ghairihi 
3) Hadis hasan li zatihi, jika banyak jalannya dapat menjadi hadis sahih li ghairihi
4) Hadis hasan li ghairihi, yaitu hadis yang asalnya hadis dla'if  yang bukan maudlu' atau matruk dapat naik menjadi hasan li ghairihi, karena dibantu hadis-hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak yang meriwayatkan yang satu dengan lainnya kuat menguatkan 

b. Dasar-dasar Istidlal
      Dasar-dasar istidlal utamanya adalah al-Qur'an dan al-Sunnah     
    c.    Ruang lingkup ijtihad  
1). Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil-dalil zhanni.
2). Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. 
d. Metode, Pendekatan, dan Teknik 
1). Metode 
a) Bayani (semantik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
b) Ta'lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran. 
c) Istishlahi (filosofis)
2). Pendekatan  
a) Al-Susiuluji (sosiologis) 
b) Al-Antrubuluji (antropologi),
c) Teologis, dan pendekatan lain sesuai dengan masalah yang dibahas.
   3). Teknik 
a). Ijma', b). Qiyas, c). Mashalih mursalah, d). Istihsan, e). Sadd az-zari'ah, f). 'Urf, g). Pendapat ulama, h). Qaidah fiqh, i). Hukum positip.        
e. Ta'arudl al-adillah 
                1). Ta'arudl al-adillah adalah pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda. 
                2). Jika terjadi ta'arudl al-adillah diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:  
                   a) Al-Jam'u wa al-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zhahirnya ta'arudl, namun bukan hakikatnya. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan memilihnya
      b) Al-Tarjih, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah. 
      c) Al-Naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
      d) Al-Tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru. 
f. Metode tarjih terhadap nash 
   Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi: 
                1). Segi sanad 
                     a) Kualitas, dan kuantitas rawi 
       b) Bentuk dan sifat periwayatan 
                     c) Shighah al-Tahamul wa al-'Ada' 
  2). Segi matan 
                   a) Matan yang menggunakan shighah nahyu lebih rajih dari shighah amr
b) Matan yang menggunakan shighah khas lebih rajih dari shighah 'am. 
                3).  Segi materi hukum 
                4).  Segi eksternal. 
C.  Contoh Fatwa MUI 
1. Talak tiga: 
       Kasus 
a. Surat dari Dirjen Bimas Islam Depag: talak tiga 3 sekaligus jatuh 3 atau 1? 
b. Mengapa ini penting? Karena mempunyai akibat hukum. 
c. Keputusan MUI: jatuh 1 sebagaimana pendapat: Thawus – Ibn Taimiyah, dan beberapa Fuqaha Zhahiriyah. 
d. Dalil yang digunakan:  - mengacu kepada pendapat fuqaha tersebut  - UU no. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. Yang intinya:    
1) Dengan adanya UU No.1 tahun 1974 talak tiga sekaligus seharusnya   tidak perlu terjadi. 
2) Penjatuhan talak suami hanya di depan Hakim PA, karena Hakim yang menyatakan keabsahan penjatuhan talak, sehingga belum sah jika diucapkan di rumah. 
 ANALISIS: 
a. UU No.1 tahun 1974 bersifat progresif = isinya berpaling dari cara lama yang memandang sah pengucapan talak secara sepintas lalu, dan menyisihkan pendapat para fuqaha lama, dengan menggantinya dengan peraturan yang dibuat oleh DPR. 
b. MUI mengakui bahwa naskah fiqh klasik hanyalah pikiran fuqaha dan bukannya hukum suci Tuhan. Dengan demikian fatwa MUI itu menghimbau  agar PA mencegah terjadinya talak 3. 
c. Fatwa MUI yang terjadi tahun 1981 ini berfungsi memperjelas masalah, sedang kekuatan hukumnya berada pada UU No.1 tahun 1974. 
2. Perkawinan Antar Agama: fatwa tahun 1980. 
Isi fatwa: 
a. muslimah haram dinikahkan dengan pria non muslim
b. muslim tidak diijinkan menikahi wanita non muslimah 
c. dalil yang digunakan: al-Qur'an – al-Sunnah – tanpa naskah dari kitab fiqh. 
1. Dalil dari al-Qur'an: (a) al-Baqarah (2): 221: (b) al-Maidah (5): 5, dan al-Tahrim (66): 6
2. dalil dari al-Sunnah: 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ  رواه البخارى. 
 ANALISIS: 
a. meskipun al-Qur'an jelas mengijinkan laki-laki Islam menikah dengan perempuan ahlu kitab, namun fatwa tidak membolehkan. Alasan: mafsadahnya lebih besar dari pada maslahahnya, sekalipun hanya berlaku di Indonesia, hal itu bersifat radikal. Karena berlawanan dengan pernyataan al-Qur'an, juga berlawanan dengan Kitab Fiqh Klasik yang biasa dirujuk oleh MUI. 
b. Alasan apa yang dibuat oleh MUI sehingga bersikap berlawanan dengan al-Qur'an? Dari segi metodologi: menggunakan dasar maslahah mursalah. 

3. Pengangkatan anak  (fatwa tahun 1984).
Isi: 
a. Islam hanya mengakui orang tua alami yang diikat dengan perkawinan yang sah. 
b. Pengangkatan anak menurut Islam tidak memutuskan hubungan sah antara anak dan orang tua aslinya. 
c. Tidak melahirkan hubungan hukum baru dengan orang tua yang mengangkatnya (termasuk warisan). 
d. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang asing di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34. 
e. Dalil al-Qur'an: al-Ahzab (33): 4; 5; 40
f. dalil al-Hadis: yang artinya: mereka yang tidak memanggil anak angkatnya dengan nama asli keluarga orang tuanya yang alami, akan menemui kesulitan untuk masuk surga. 
g. Tafsir: tafsir ayat ahkam karya al- Shabuni = Islam telah menghapuskan sistem pengangkatan anak yang dipraktikkan di zaman jahiliyah.
h. Mahmud Syaltut: pengangkatan anak yang tidak menghapuskan hubungan hukum dengan orang tuanya asli = hukumnya boleh. Jika membuat hubungan hukum baru  seperti hak untuk menerima warisan dengan orang tua baru = hukumnya dilarang. 
 ANALISIS: 
Perdebatan masalah adopsi, sudah berjalan lama di Indonesia (th 30 an) sehingga terjadi perselisihan antara : Islam dan pendukung hukum adat tahun awal 70 an, ketika muncul rancangan UU perkawinan. 
Jadi fatwa ini menghidupkan masalah lama, tetapi ada yang baru, yaitu menunjuk Pasal 34 UUD 1945 = anak miskin dan terlantar adalah tanggung jawab pemerintah. Juga tindakan orang asing yang mengangkat anak-anak Indonesia
  
4. Pluralisme
 Dalam Munas VII MUI pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M  diputuskan bahwa paham pluralisme bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham tersebut. 
Fatwa keharaman paham pluralisme ini mendapat protes keras dari sejumlah tokoh agama. Termasuk keharam  paham liberalisme dan sekularisme. Titik perbedaan terletak pada pendekatan yang digunakan, MUI menggunakan pendekatan teologis. Sehingga pluralisme berkonotasi pada sinkretisme agama, dalam arti semua agama dianggap benar dan sama baiknya  Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekslusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.  
Berbeda dengan kenyataan di Indonesia, adanya pluralitas agama, ini menyangkut masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.   

D.  Prosedur Penetapan Fatwa  
          Berdasarkan Pedoman Penetapan Fatwa MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997, ada enam pasal yang mengatur tentang prosedur penetapan fatwa, yaitu: 
Pasal 3:   Prosedur
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat'iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nass-nya dari al-Qur'an dan Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah usul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. 

Pasal 4 
1. Setelah melakukan pembahasan secara mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi menetapkan keputusan fatwa. 

Pasal 5 
1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfiz-kan setelah ditandatangani oleh dewan pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
2. SKF harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas. 
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya. 
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut. 

Pasal 6: Sidang komisi 
1. Sidang komisi harus dihadiri oleh para anggota komisi yang jumlahnya dianggap cukup memadai oleh ketua komisi dengan kemungkinan mengundang tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan  dibahas jika dipandang perlu. 
2. Sidang komisi diadakan jika ada: 
- Permintaan atau pertanyaan dari masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan MUI dianggap perlu untuk dibahas dan diberikan fatwanya. 
- Permintaan atau pertanyaan dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, atau MUI sendiri. 
3. Sidang komisi ipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya atas
       persetujuan ketua komisi. 

Pasal 7: Kewenangan dan Hirarkhi 
1. Majelis Ulama Indonesia berwenang mengeluarkan fatwa mengenai:  
- Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional. 
- Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke  daerah lain. 
2. Majelis Ulama Indonesia Daerah berwenang mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan bersifat lokal (kasus-kasus di daerah) dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan MUI/komisi fatwa MUI. 
3. Penentuan klasifikasi masalah dilakukan oleh tim khusus.   

Pasal 8: Penutup 
1. Setiap surat keputusan fatwa di lingkungan MUI maupun MUI Daerah dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam surat keputusan ini mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan. 
2. Jika terjadi perbedaan antara surat keputusan fatwa MUI dan surat keputusan fatwa MUI Daerah mengenai masalah yang sama, perlu diadakan pertemuan antara ketua Dewan Pimpinan untuk mencari penyelesaian yang paling baik.    

E. Sosialisasi Fatwa   
           Produk fatwa MUI  meliputi berbagai bidang, yaitu: Ibadah, Faham keagamaan Masalah sosial kemasyarakatan, dan Ilmu pengetahuan dan teknologi.  Sekian banyak produk fatwa MUI ini mustahil akan dipahami lebih-lebih diimplementasikan di tengah masyarakat tanpa upaya sosialisasi, terlepas dari adanya pro dan kontra dalam menanggapi fatwa MUI. Oleh karena itu, tujuan sosialisasi disamping untuk menyebarluaskan hasil fatwa  agar bisa diimplementasiakan di tengah masyarakat, juga  untuk memberikan pemahaman yang benar terutama terhadap fatwa yang disinyalir kontroversial.  
Langkah-langkah sosialisasi Fatwa MUI,  terbagi ke dalam sosialisasi internal dan eksternal (KRT.Drs.H. Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, "Sejarah dan Sosialisasi serta Implementasi Fatwa MUI", makalah disampaikan pada PKL mahasiswa jurusan PMH, Fak. Syari'ah UIN Sunan Kalijaga tanggal   2 Juni 2008). 

1. Internal: a. Membentuk tim khusus sosialisasi,  b. Penyiapan publik speaker,  c. Mengaktifkan jaringan kepengurusan MUI sebagai simpul sosialisasi,  d. Melengkapi fatwa dengan penjelasan dan argumentasi yang komprehensip, e. Mencetak dan menyebarluaskan Fatwa, f. Meningkatkan penggunaan media yang dimiliki MUI, g. Menggelar dialog terbuka,  h. Melalui wahana jalan sehat masal.
2. Eksternal:   a. Kerjasama dengan berbagai media cetak dan elektronika,  b. Kerjasama dengan ormas dan orpol Islam, c. Kerjasama dengan instansi Pemerintah yang terkait dengan sosialisasi dan implementasi Fatwa,  d. Kerjasama dengan pihak swasta dan perorangan,  e. Kerjasama dengan lembaga pendidikan, baik Negeri maupun Swasta, f. Memaksimalkan media tradisional, seperti masjid, majelis ta'lim, dan pengajian-pengajian. 

Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Load comments

Ads 970x90