A. Latarbelakang masalah
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.
Untuk itu, kita perlu mengetahui bagaimanakah hokum kewarisan itu dalam agama islam dan khususnya sebagai masyarakat islam Indonesia, maka kita pun perlu tau bagaimana fikih Indonesia (KHI) mengaturnya.
PEMBAHASAN
A. Definisi kewarisan dalam KHI
Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwarits kata tunggalnya al-mirats ) lazim juga disebut dengan fara’idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil dari kata fardh yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fardh dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.Ini dapat kita lihat dalam Buku II KHI,pasal 171 poin (a).
Dari definisi hokum kewarisan menurut KHI ini,dapat kita simpulkan bahwa hokum kewarisan merupakan aturan-aturan tentang bagaimana kepemilikan harta peninggalan di bagikan kepada orang-orang yang berhak atas pembagian itu,serta ketentuan-ketentuan yang mengatur berapa saja bagian tiap-tiap mereka yang berhak atas harta peniggalan itu.
B. Unsur-unsur kewarisan dalam KHI
Proses peralihan harta dalam hukum kewarisan Islam memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pewaris.
Di dalam literatur fikih disebut al-muwarits ialah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.Dalam KHI kita dapat melihat definisinya dalam pasal 171 poin (b) : Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Dari definisi pewaris itu, maka kita dapat melihat bahwa pewaris pun memiliki syarat-syarat, yakni beragama islam, ada harta yang ditinggalkan serta ada yang diwarisi.
2. Harta warisan.
Menurut hukum Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya.Dalam KHI pasal 171 poin (e) disebutkan : Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan selama sakit sampai meninggalnya,biaya pengurusan jenazah (tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Sedangkan mengenai harta peninggalan, dalam KHI disebutkan bahwa harta peninggalan adalah : harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (pasal 171 poin d )
3. Ahli waris
Menurut istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Orang-orang tersebut pun harus memiliki keterkaitan dengan pewaris. Seperti adanya hubungan kekerabatan, perkawinan. Dalam KHI ahli waris adalah : Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewwaris,beragama islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris. (pasal 171 poin c ).
C. Ketentuan ahli waris dalam KHI
Ahli waris haruslah beragama islam, karna islam adalah salah satu syarat dari ketentuan tentang hukum kewarisan, hal ini dapat kita lihat dalam pasal 172, yaitu : “ahli waris dipandang beragama islam apabila diketahuai dari Kartu Identitas (KTP) atau pengakuan atau amalan atau kesaksian...”
Sedangkan untuk anak yang baru lahir atau yang belum dewasa, maka agamanya menurut KHI adalah sesuai agama orang tuanya (dalam hal ini ayahnya), atau menurut lingkungannya (… sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. (pasal 172) ).
Ahli waris dapat terhalang menjadi penerima warisan atau terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yag telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam KHI orang terhalang menjadi ahli waris apabila melakukan hal berikut :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiyaya berat para pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah mengajukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Hal ini dapat kita lihat dalam KHI pasal 173.
Dalam KHI mereka yanmg berhak mendapatkan harta warisan dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Menurut hubungan darah
Inipun dikategorikan lagi menjadi dua, yaitu :
- Dari golongan laki-laki,ini terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Dari golongan perempuan, terdiri dari : ibu, anak perempuan, dan saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan
Ini terdiri atas duda atau janda.
Mengenai hal ini dapat kita lihat pada pasal 173 KHI.
Dalam KHI, ada ketentuan bahwa jika semua ahli waris –sebagaimana yang telah disebut diatas- ada, maka yang berhak untuk mendapatkan warisan hanyalah anak, ayah, ibu, janda atau duda.(pasal 172 poin 2 ).
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.
c. Menyelesaikan wasiat pewaris
d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Bagi anak yang lahir diluar perkawinan, maka dia hanya dapat mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari ibunya saja. Jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, maka hartanya atas keputusan pengadilan agama, diserahkan kepada baitul mal untuk kepentingan agama islam dan untuk kepentingan umum.
D. Bagian masing-masing ahli waris
Dalam KHI, dapat di kelompokkan bagian ahli waris sebagai berikut :
1. Ketentuan bagian anak perempuan dalam KHI Pasal 176 yaitu:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu.
2. Ketentuan bagi ayah dalam KHI Pasal 177 yaitu:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
3. Bagian ibu, dalam KHI mendapatkan bagian:
a. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat seprtiga bagian.
b. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
4. Bagian duda dalam KHI Pasal 179 berhak mendapatkan bagian yaitu:
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meningalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
5. Bagian janda dalam KHI Pasal 180 mendapatkan bagian yaitu:
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapatkan seperdelepan bagian.
6. Bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu dalam KHI Pasal 181 mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
7. Bagian satu atau lebih saudara perempuan kandung atau seayah dalam KHI Pasal 182 mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah maka saudara bagian laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Bagi pewaris yang mempunyai ietri lebih dari satu, maka masing-masing istri berhak mendapatkan harta gono-gini dalam rumah tangganya. Sedangkan bagian pewaris menjadi hak para ahli waris.
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,setelah masing-masing menyadari bagiannya. Jadi para ahli waris dapat tidak mengikuti aturan pembagian warisan bagi masing-masing ahli waris berdasarkan ketentuan bagiannya yang telah diatur dalam KHI, jika mereka telah dengan rela untuk bersepakat untuk berdamai dalam pembagian itu, karna mungkin ada ahli waris yang menganggap dia tak perlu lagi mendapat warisan karna secara ekonomi dan lainnya sudah sangat cukup sedangkan ahli waris yang lain lebih pantas untuk mendapatkan menurut mereka. Hal ini dapat dilihat pada pasal 183.
Bagi anak yang belum dewasa yang menjadi ahli waris, yang ditakutkan dan memang mungkin tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, maka harus diangkat seorang walinya berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarganya. Ini dapat kita lihat dalam KHI pasal 184.
E. Ahli waris pengganti
Dalam KHI, dikenal adanya ahli waris pengganti. Pewaris pengganti itu maksudnya jika ada ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka dia berhak di gantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam pasal 173. Misalnya sebuah kasus seperti ini, si ahmad telah mempunyai anak dan istri, dan ahmad juga masih memiliki ayah dan ibu (kakek dan nenek dari anak si ahmad). Jika ayah atau ibu si ahmad meninggal, otomatis ahmad akan mendapat warisan. Tapi malang nasib si ahmad, dia telah meninggal sebelum ayah atau ibunya meninggal dunia. Dalam kondisi seperti ini, maka anak si ahmad maju menggantikan posisi si ahmad sebagai ahli waris dari ayah atau ibu si ahmad. Nah inilah yang dinamakan ahli waris pengganti.
Namun ada ketentuan bagi ahli waris pengganti ini, yakni bagiannya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang di gantinya. Misalnya si ahmad ternyata juga memiliki saudara laki-laki (paman anak si ahmad), maka anak si ahmad (sebaggai ahli waris penggati), tidak boleh mendapatkan harta warisan lebih banyak dari pamannya itu. Hal ini terdapat dalam KHI pasal 185.
F. Pelaksana pembagian harta warisan
Pewaris (sebelum meninggalnya) atau ahli waris dapat menunjuk pihak-pihak atau beberapa orang untuk melaksanakan pembagian harta warisan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ada. Tugas dari pelaksana pembagian harta warisan ini adalah :
a. Mencatat harta peninggalan, baik yang berupa benda bergerak atau yang tidak bergerak, kemudian disahkan oleh ahli waris yang berrsangkutan. Bila perlu dinilai harganya dengan uang.
b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai deengan pasal 175 ayat (1) sub a, b dan c.
Sisa dari semua pengeluaran itulah yang akan dibagikan kepada para ahli waris. Para ahli waris secara bersama-sama atau perorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidam mentetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan agama untuk dilakukan pembagian harta warisan. (lihat pasal 188).
G. Kritik terhadap hukum kewarisan dalam KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam terungkap bahwa ahli waris dapat bersepakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Dengan adanya rumusan ini dapat memungkinkan adanya pembagian harta warisan dengan porsi yang sama secara matematis (1:1) diantara semua ahli waris melalui jalur perdamaian tersebut, sebagai penyimpangan dari pasal 176 KHI yang mengatur ketentuan anak laki-laki dan anak perempuan (2:1); dan antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung – saudara laki-laki seayah dengan saudara perempuan seayah sebagi penyimpangan terhadap pasal 182 KHI.
Prinsip perdamaian ( al-shulh ) telah mendapat pembenaran sebagai mana yang tercantum dalam al-qur’an surat al-Nisa (4): 127, asalkan saja tidak dimaksudkan untuk mengenyampingkan ajaran. Memang dalam menyikapi hal tersebut perlu adanya sikap arif dan bijaksana pada semua ahli waris sehingga semua ahli waris bisa menerima bagiannya masing-masing tetapi mereka masih memikirkan keadaan kerabat lain yang mendapatkan bagian yang lebih kecil sedangkan beban hidupnya lebih berat. Sehingga melalui perdamaian ini seorang kerabat bisa saja memberikan sebagian jatah warisnya untuk diberikan kepada kerabat perempuannya.
Hal ini bisa juga memungkinkan pembagian warisan sama besar untuk semua ahli waris.
Dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa hal yang menjadi catatan beberapa orang yang dirasakan kurang lengkap. Misalkan saja, dalam hal waris persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun mengnai hal ini tidak diketemukan dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama islam pada saat meninggalnya pewaris. Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama islam, terdapat pada psl 172. Disamping itu juga dalam KHI tidak dicantumkan murtad seseorang menjadi penghalang utama untuk menjadi ahli waris. Adapun porsi perbandingan pembagian warisan antara bagian wanita dan laki-laki masih dipertahankan secara ketat perbandingan dua berbanding satu. ketentuan warisan telah dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam, namun keinginan-keinginan untuk memperbaharui KHI ini masih tetap ada.
Ada banyak sebenarnya kritik kepada hokum kewarisan dalam KHI ini, namun kami cukupkan sampai disni saja, dengan harapan kita dapat mengkajinya lebih jauh dalam literature-literatur yang lain maupun dalam diskusi-diskusi nantinya.
KESIMPULAN
Hukum kewarisan Islam dalam Kempilasi Hukum Islam adalah aturan-aturan tentang kewarisan islam yang telah di sesuaikan dengn sosio pilitik maupun sosio kultur Indonesia, sehingga dalam penerapannya ada sedikit fariasi. Misalnya dalam hal ahli waris, bagian masing-masing ahli waris, telebih tentang ahli waris pengganti ini.
Ada banyak hal tentunya yang telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia dalam hal hokum kewarisan ini. Yang tentunya tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.
DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo
Nasution, H. Amin Husein, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid Dan Kompilasi Hukum Islam ,Jakarta : Rajawali Pers. 2012
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Gunung Agung.1984
Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,Jakarta : Bina Aksara.1984
www//http : profil-lanka.blogspot.com / Ahli Waris Pengganti dalam KHI/diakses pada 01 desember 2013. Pkl. 13:12 WIB